Rabu, 21 November 2007

Flickr

This is a test post from flickr, a fancy photo sharing thing.

Rabu, 29 Agustus 2007

Spirituality Management


Oleh Yodhia Antariksa
28 Agustus 2007

Ketika kita mencoba membincangkan spirituality management, setidaknya terdapat tiga jenis kontribusi yang bisa disumbangkan bagi kemajuan praktek bisnis dan manajemen. Yang pertama, dimensi spiritualitas memberikan pondasi yang kuat untuk membangun integritas moral yang kokoh bagi para pelaku bisnis (karyawan, pengusaha, kaum profesional). Itulah profil integritas yang dinaungi oleh misalnya, sikap kejujuran, kesederhanaan, dan sikap yang mengacu pada etika kebenaran. Kini misalnya, kita melihat begitu banyak perusahaan yang mencantumkan aspek integritas dalam 'core competency' yang mereka susun. Tentu saja, aspek integritas ini akan mampu diwujudkan -- dan bukan jadi sekedar kata-kata hiasan -- jika semua karyawan di perusahaan tersebut memiliki kadar sprititualitas yang tidak rapuh.

Kontribusi yang kedua berkaitan dengan pengembangan etos kerja yang berorientasi pada kemajuan dan keunggulan kinerja (excellent performance). Dimensi spiritualitas semestinya mampu dijadikan driving force yang kuat untuk menancapkan motivasi dan etos kerja yang selalu mengacu pada prestasi terbaik. Dalam konteks ini mestinya ada kesadaran kuat untuk menjalankan "teologi kerja (job theology)" : atau sebuah niatan suci untuk selalu menganggap pekerjaan kita sebagai sebuah ibadah dan bentuk pengabdian kita pada Yang Maha Agung. Ketika kita bekerja dikantor dengan asal-asalan dan menghasilkan kualitas brekele, atau ketika ketika kita hanya mempu menciptakan pelayanan yang amburadul dan membikin para pelanggan patah arang, maka mestinya kita menanggap ini semua sebagai sebuah "dosa" dan kita mesti merasa malu dihadapan Yang Maha Tahu.

Sebaliknya, ketika kita selalu bisa mempersembahkan kinerja yang istimewa, atau ketika kita mampu mengagas dan melaksanakan ide-ide kreatif untuk memajukan perusahaan, maka mestinya ini semua tidak melulu didasari oleh keinginan untuk naik pangkat, atau mendapat bonus yang besar, melainkan pertama-tama mesti dilatari oleh niatan suci untuk beribadah. Sebuah niatan yang didorong oleh kehendak untuk mengabdi dan memuliakan Yang Diatas. Dalam konteks inilah, dimensi spiritualitas dapat menjelma sebagai sebuah inner force yang kokoh dan mampu memotivasi kita untuk terus bekerja keras memberikan yang terbaik.

Kontribusi ketiga yang layak disebut adalah potensi sumbangan dimensi spiritualitas dalam membangun apa yang kini sering disebut sebagai learning organization. Tak pelak, hampir semua agama didunia selalu mendorong para umatnya untuk terus belajar dan menuntut ilmu. Dalam Islam misalnya, ayat pertama yang diturunkan berbunyi iqra' (artinya, bacalah!): sebuah simbolisasi yang menekankan betapa pentingnya proses belajar dan menuntut ilmu bagi kemajuan peradaban manusia. Dengan demikian, upaya untuk membangun 'learning culture', upaya mendorong para karyawan untuk terus merengkuh ilmu, atau upaya untuk menumbuhkan "knowledge management system", merupakan serangkaian proses yang senantiasa perlu digerakkan. Sebab, semua ini sesungguhnya merupakan perwujudan dari dimensi spiritualitas kita dan juga bentuk ibadah kita kepada Yang Maha Mengetahui.

Itulah tiga jenis kontribusi penting, yang saya kira, bisa diberikan oleh ruh spiritualitas dalam proses manajemen modern. Jika tiga elemen diatas mampu ditancapkan dalam realitas kerja kita, maka Insya Allah, kejayaan sebuah peradaban pasti bisa akan kita rengkuh.

Keterangan Penulis:
Yodhia Antariksa adalah Konsultan Manajemen SDM dan pengelola strategimanajemen.net, blog tentang management skills, human capital dan business strategy.

Bisnis Syariah Antara Realita dan Idealita


Oleh Bey Laspriana
24 Agustus 2007

Tiga tahun terakhir ini, bisnis syariah di Indonesia berkembang semakin pesat. Menjamurnya unit-unit bisnis syariah di beberapa bidang bisnis, seperti perbankan, asuransi, pegadaian, Lembaga Keuangan Mikro, hotel, lembaga pembiayaan, bahkan advertising membuktikan hal itu.

Satu sisi perkembangan ini haruslah kita syukuri bersama. Karena dengan itu kesempatan kita untuk hidup secara kaffah semakin terbuka lebar. Namun pada sisi lain, kita juga patut khawatir kalau-kalau para pemain bisnis syariah saat ini semata-mata menjadikan ‘pasar’ sebagai pertimbangan dalam melakukan ekstensifikasi bisnisnya, buka atas dasar semangat ruhiyah (ketaatan dan ibadah pada Allah swt). Artinya, realitas (persaingan bisnis) bisa mengalihkan bisnis syariah dari idelisme syariahnya.

Secara bahasa, Syariat (al-syari’ah) berarti sumber air minum (mawrid al-ma’ li al istisqa) atau jalan lurus (at-thariq al-mustaqiim). Sedang secara istilah Syariah bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah Swt melalui Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah? ibadah, akhlak, makanan, minuman pakaian maupun muamalah (interaksi sesama manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Bisnis sendiri merupakan salah satu dari bentuk muamalah yang dibenarkan oleh Islam. Yaitu sejumlah usaha untuk mendapatkan keuntungan. Maka bisnis syariah adalah sebuah aktivitas usaha yang mendasarkan pada aturan yang tertuang dalam al Qur’an, al Hadits, Qiyas dan Ijma’. Pengertian diatas mendasarkan pada kaidah umum hukum syara tentang amal (perbuatan), yaitu "Al-ashlu fil af’al at taqayyud bi hukmi syar’iy" (hukum asal dari perbuatan adalah terikat pada hukum syara).

Maka secara ringkas. Jika menggunakan dasar diatas. Bisnis syariah mestinya memiliki keunikan dan ciri tersendiri. Jika saya boleh berpendapat, kekhasan itu berupa :

Selalu Berpijak Pada Nilai-Nilai Ruhiyah
Nilai ruhiyah adalah kesadaran setiap manusia akan eksistensinya sebagai ciptaan (makhluq) Allah yang harus selalu kontak dengan-Nya dalam wujud ketaatan di setiap tarikan nafas hidupnya. Ada tiga aspek paling tidak nilai ruhiyah ini harus terwujud , yaitu pada aspek : (1) Konsep, (2) Sistem yang di berlakukan, (3) Pelaku (personil).

Memiliki Pemahaman Terhadap Bisnis yang Halal dan Haram
Seorang pelaku bisnis syariah dituntut mengetahui benar fakta-fakta (tahqiqul manath) terhadap praktek bisnis yang Sahih dan yang salah. Disamping juga harus paham dasar-dasar nash yang dijadikan hukumnya (tahqiqul hukmi).

Benar Secara Syar’iy Dalam Implementasi
Intinya pada masalah ini adalah ada kesesuaian antara teori dan praktek, antara apa yang telah dipahami dan yang di terapkan. Sehingga pertimbangannya tidak semata-mata untung dan rugi secara material.

Berorientasi Pada Hasil Dunia dan Akhirat
Bisnis tentu di lakukan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyak berupa harta, dan ini di benarkan dalam Islam. Karena di lakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi (qimah madiyah). Dalam konteks ini hasil yang di peroleh, di miliki dan dirasakan ada dalam kehidupan dunia.

Namun, seorang Muslim yang sholeh tentu bukan hanya itu yang diinginkannya, tapi lebih dari itu. Yaitu kebahagiaan abadi di yaumil akhir. Oleh karenanya, dia harus menjadikan apa yang dikerjakannya itu sebagai ladang ibadah dan menjadi pahala di hadapan Allah . Hal itu terwujud jika semua yang kita lakukan selalu mendasarkan pada aturan-Nya yaitu syariah Islam.

Jika semua hal diatas dimiliki oleh seorang pengusaha muslim-syariah, niscaya dia akan mampu memadukan antara realitas dan idealita sehingga memberikan manfaat bagi kehidupannya di dunia maupun akhirat. Jadilah kaya yang dengannya kita bisa beribadah di level yang lebih tinggi lagi.

Keterangan Penulis: Bey Laspriana adalah praktisi sekaligus pendiri Syafa’at Advertising, Yogyakarta. Memiliki obsesi mengembangkan komunikasi visual dan pemasaran berbasis syariah.

Rabu, 15 Agustus 2007

Musim Mencari Sekolah


Kolom Leak Koestiya

Musim durian baru saja berlalu. Kalau toh di pinggir-pinggir jalan masih kita jumpai ada satu-dua pedagang kaki lima yang menggantungkan durian dagangannya, pastilah itu durian terakhir yang tersisa di musim kali ini. Musim sedang berganti.

Sekarang, tibalah saatnya musim anak mencari sekolah. Antara durian dan anak sekolah sebenarnya tak ada hubungan. Tapi, soal perlakuan, kadang ada kesamaan. Kita sering heboh -baik soal anak maupun durian- ketika musimnya sedang tiba saja. Baunya suka nggak keruan menyebar ke mana-mana.

Inilah saatnya orang tua, terutama yang hendak mencarikan sekolah untuk anaknya, mengeluh pusing dan banyak yang pontang-panting ke sana kemari mencari pinjaman dana.

Tentu tidak semua. Tapi, topik tentang mencarikan sekolah anak memang lagi musimnya dan hangat-hangatnya. Sejauh mana kita bersungguh-sungguh memikirkan sekolah anak dan tidak menganggapnya sebagai sebuah acara musiman semata? Masing-masing orang tua berbeda-beda.

Ada orang tua yang lemes gara-gara batal ganti audio mobil karena harus membayar uang pangkal sekolah anaknya. Keinginan mengganti perangkat audio mobil adalah keinginan lama. Tapi, membayar biaya masuk sekolah anak adalah sesuatu yang sepertinya datang begitu tiba-tiba.

"Biasanya nggak pernah saya terlambat membayar tagihan kartu kredit. Tapi, bulan ini nggak tahu deh. Habis, anakku masuk sekolah sekarang," ujar seorang bapak muda kepada temannya.

Semua orang tua tentu mencintai anaknya, tapi sering gagal untuk sungguh-sungguh menjalankan tool aplikasinya. Dan, ketika menyangkut biaya sekolah, kebutuhan jenis itu sering masuk kategori biaya lain-lain. Ia menjadi semacam biaya tak terduga saja.

Ini memang musim anak mencari sekolah. Kantor pegadaian dan bank perkreditan rakyat disesaki nasabah pada hari-hari ini. Karena memang musimnya, kalung, televisi, atau BPKB pun ikut "disekolahkan". Di kantin, saya menjumpai percakapan mencengangkan tentang SD swasta full day yang SPP-nya jauh lebih mahal ketimbang uang semester mahasiswa (negeri, tentu!). Belum jumlah uang sumbangannya.

Menyebut uang sumbangan sekolah, kita bisa lebih tercengang lagi. Sebab, di musim anak mencari sekolah, kata sumbangan bisa punya arti khas dan unik.

Logikanya, sekolah-sekolah yang perlu sumbangan besar adalah sekolah yang dindingnya rentan roboh, plafonnya rontok, bangku-bangkunya reyot, dan bocor saat hujan karena gentingnya pada melorot. Kenyataannya justru sebaliknya.

Gedung-gedung sekolah yang megah dan ruangan-ruangannya yang berpendingin, kewajiban menyumbang bagi orang tua calon siswa ditarik sebanyak-banyaknya. Sekolah yang lebih kreatif dan tidak vulgar menarik sumbangan menemukan cara yang elite. Sebagai orang tua calon siswa, ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi saat mendaftarkan anaknya.

Yaitu, orang tua calon siswa harus menjadi member sebuah perkumpulan golf yang menjadi satu dalam sebuah jaringan korporat. Nah, untuk menjadi anggota golf club, mereka harus menyediakan uang setidaknya seratus juta. Itu bisa lebih, bergantung jenis keanggotaan Anda di golf club itu. Apakah Anda ingin menjadi pemegang gold card, platinum, atau lainnya.

Itu baru soal biaya, belum bicara sistem. Menurut si cantik Sophia Latjuba dan kawan-kawan dalam Education Forum yang memenangkan gugatan atas pelaksanaan ujian nasional (unas) oleh pemerintah, banyak siswa terganggu secara psikologi dan mental akibat unas. Kalau memang benar kenyataannya, oh... betapa menyedihkan.

Sebagai orang tua, tentu kita semua pernah merasakan sekolah. Tapi, sekolah pada zaman kita memang tidak seheboh sekarang. Betapa makin berat biaya yang harus ditanggung orang tua murid. Juga, betapa rumit sebenarnya hidup yang harus dijalani seorang siswa. Sekolah bukan persoalan pelajaran dalam kelas semata.

Di Kota Tegal, seorang siswi bisa ditemukan tewas gantung diri gara-gara tak kuat menanggung malu akibat diejek teman-temannya. "Hari gini masih ada orang nggak punya handphone..." ledek teman-teman sekelasnya.

Pada zaman ini, tak ber-handphone adalah beban rasa malu yang tak tertahankan bagi seorang siswa. Dibelikan handphone tapi tak dilengkapi fitur MP3 dan kamera, masih ngambek juga. Punya HP berkamera, malah dipakai merekam adegan porno bersama temannya. Itu sungguh tak berkaitan dengan kurikulum atau sistem pendidikan kita. Tapi, sangat nyata sebagai wajah kehidupan siswa di sekolahan sekarang.

Betapa sering kita mendengar cerita seorang anak yang mogok sekolah karena tak dibelikan sepeda motor oleh orang tuanya. Sementara orang tuanya memang benar-benar tak mampu membelikan. Pada level yang lebih tinggi, seorang pelajar SMA bisa stres berat gara-gara mobilnya kalah keren dari temannya.
***
Dalam Rich Dad Poor Dad karangan Robert T. Kiyosaki yang begitu laris dan menggemparkan, bicara tentang sekolah hingga setinggi-tingginya, menjadi kutu buku, berkacamata minus tebal, bergelar banyak adalah hal percuma saja. Sepanjang kita tak sukses mencari dan menghasilkan banyak uang.

Oleh Kiyosaki, antara sekolah dan kepintaran mencari duit ibarat sebuah jalan yang ujungnya terbelah menjadi dua. Jalur yang satu menuju sekolah hingga setinggi dan sepandai-pandainya, jalur yang satu lagi adalah rute mencari uang sebanyak-banyaknya.

Kata Rich Dad (ayah kaya) dalam buku itu, betapa kasihan seorang profesor doktor yang semua waktunya dihabiskan untuk sekolah hingga lupa cara mencari duit. Tiap bulan menerima gaji kecil dan sepanjang hidup dia jalani dengan uang pas-pasan saja.

Sebagai orang tua anak saya yang sedang mencari sekolah, rasanya saya tidak terprovokasi Rich Dad Poor Dad karangan Kiyosaki yang begitu menarik dan menghasut itu. Tapi, sekarang saya memang sedang bingung memikirkan ke mana anak saya harus masuk sekolah.

Memang ribet kalau sebagai orang tua juga harus ikut memikirkan sistem pendidikan kita yang memang tak kunjung membaik itu. Maka, pilihannya adalah menyekolahkan anak ke sekolah berstandar internasional yang pasti mahal. Tapi, seratus juta rupiah sebagai uang sumbangan juga bukan jumlah yang gampang didapat. Lagian, saya juga tidak hobi golf.

Saat saya bingung mencari sekolah seperti itu, sungguh saya membayangkan anak saya bersekolah di SD inpres seperti saya dulu. Tiap pagi berjalan kaki tanpa sepatu dari rumah ke sekolah yang jaraknya lebih dari empat kilometer. Melewati pematang sawah, sepulang sekolah langsung nyebur ke kali tanpa perlu melepas celana dan baju. Ohoi... ndeso sekaligus katrok!

Juni bulan depan adalah bulan penerimaan rapor untuk para siswa. Betapa banyak orang tua yang bakal memarahi anaknya karena nilai merah atau ranking-nya turun. Terus terang, saya juga telah membayangkan rapor anak saya yang sekarang baru mau masuk SD itu. Saya seperti bernostalgia ketika melihat nilai rapornya yang funky karena begitu banyak nilai merahnya. He he... persis rapor bapaknya ketika sekolah dulu! (leak@jawapos.com)

Jalan Hidup dan Jalan Raya


Kolom Leak Koestiya

Mengenang komedian tambun, Taufik Savalas, adalah mengenang indahnya sebuah jalan hidup seorang manusia sekaligus mengingatkan getirnya jalan raya yang kita punya. Jalan indah dan jalan getir sebenarnya adalah dua arah yang berbeda. Tapi, di negeri ini dua arah itu tiba-tiba bisa berpapasan kapan saja.

Untuk melihat jalan indahnya, marilah kita coba tengok masa lalu Taufik. Tumbuh sebagai anak-anak di sebuah gang sempit dan padat penghuni di daerah Jembatan Lima, dia seperti debu yang sepanjang waktu diempas dan diterpa ganasnya kehidupan ibu kota. Hidup sebagai selebriti seperti yang biasa kita saksikan di televisi tentu sebuah keindahan. Jalan panjang yang dilalui Taufik sebelum menjadi selebriti adalah keindahan lainnya. Sebagai seorang manusia, dia sungguh sebuah paket komplet. Di tangannya tergenggam pahit, getir, dan manis sekaligus. Pernah menjadi tukang jaga penitipan sandal dan sepatu di sebuah masjid, bergelantungan sebagai kernet angkutan kota, bahkan tukang aduk pasir-semen. Untuk menyambung hidup yang tidak lucu itu, Taufik juga melalui jalan berat sebagai tukang batu dan kuli bangunan.

Bakat humor yang sangat kuat memang akhirnya membawanya menjadi komedian papan atas di negeri ini setelah sukses sebagai pembawa acara canda-tawa di radio Suara Kejayaan. Masa lalunya yang pahit adalah juga asetnya ketika dia mengenyam hidup manis. "Saya berusaha untuk terus hidup seimbang," katanya suatu kali saat muncul di tayangan infotainment. Prinsip hidup seimbang itulah yang membuat Taufik menjadi berbeda dengan kebanyakan selebriti lainnya. Dia tak pernah kedengaran berurusan dengan gosip miring seperti teman-teman sejawatnya yang tak henti-henti berburu hura-hura serta kesenangan, khas selebriti.

Tapi, begitulah jalan hidup. Dan, beginilah jalan raya kita. Hidup bisa dititi dengan segenap langkah kehati-hatian jengkal demi jengkal. Tapi, jalan raya kita bisa mempraktikkan ketidakberadaban semaunya. Di jalan raya, sopir-sopir bus yang ugal-ugalan bisa tiba-tiba menjadi penentu hidup-mati para penumpang yang diangkutnya. Para sopir itu bisa seketika mengubah para penumpang yang duduk di belakangnya menjadi seperti ayam potong yang sedang diangkut menuju tempat eksekusi. Rem blong, sopir ngantuk, radiator bocor, serobot jalur sembarangan adalah penyebab celaka yang setiap saat kita dengar. Tak peduli siapa pun dan berapa pun nyawa yang telah direnggut, jalanan kita terus mempertontonkan wataknya yang keji dan ganas.

Semewah apa pun mobil Anda, sepanjang ia lebih kecil dibandingkan dengan kendaraan yang sedang berpapasan dengan Anda, minggirlah. Aturan dan sopan santun di jalan raya kita nyaris serupa hukum rimba dalam hutan belantara. Sedan adalah rusa, truk dan bus adalah harimaunya. Kalau Anda berkendara antarkota dengan city car atau mungkin sepeda motor, bersiaplah diperlakukan seperti kelinci yang setiap saat digasak para serigala jalan raya. Lihatlah senyum para sopir bus dan truk pengangkut tanah itu. Mereka seperti di puncak bahagia ketika mobil-mobil kecil yang dipapasnya pontang-panting ketakutan. Sebagai penumpang bus, kita memang cuma bisa ketakutan. Selebihnya adalah penyerahan hidup-mati kepada sopir.

Setiap tahun pada musim liburan sekolah, selalu saja terjadi serombongan anak sekolah yang melayang nyawanya karena bus yang mereka tumpangi masuk jurang, terbakar, tabrakan atau lainnya. Anak-anak yang ingin bergembira itu seperti menjadi pemuas sopir-sopir ceroboh dan bus tak layak jalan, tapi getol mengejar setoran. Nyawa para penumpang dianggap tak lebih sekadar komponen pelengkap kebiadaban jalan raya yang barbar.

Sepulang dari tanah suci beberapa waktu lalu, Taufik seperti berusaha untuk terus merapikan dan menata hidupnya. "Saya akan mengirit popularitas saya. Akan saya batasi jam tayang di televisi. Dua kali dalam seminggu muncul di televisi cukuplah," katanya dalam sebuah wawancara. Kalau artis dan pelawak-pelawak lain berusaha mengejar setoran dan jam tayang, Taufik justru sebaliknya. Ada semacam keinginan untuk mengerem laju hidup di tengah gempita panggung pertunjukan dan layar kaca.

Tapi, niat untuk mengerem tersebut, ternyata, terasa begitu mendadak dan tiba-tiba. Jalan panjang yang dia titi dan mulai dibangun dari sebuah gang sempit di Jembatan Lima itu kini terpangkas di sebuah ruas jalan raya di Purworejo. Mobil yang dia tumpangi sepulang mengisi acara lucu-lucuan dari Jogja dilibas truk pengangkut semen yang main salip seenaknya sehingga remuk tak berbentuk. Taufik tewas dalam tabrakan tersebut. "Saya ikhlas karena Tuhan mungkin punya kehendak lain," kata Hajah Rukaesih, ibundanya. Di jalan raya yang dipenuhi bus, truk, dan berbagi jenis kendaraan yang pengemudinya tak beretika, nyawa nyaris tak ada artinya. Siapa pun kita.

Terus, kapan kebiasaan brutal dan tak kenal etika di jalan raya itu bisa kita rem dan hentikan? Sepertinya, jalan masih jauh... (leak@jawapos.com)

Jeda


Leak Koestiya

Jaya Suprana pernah mencoba memberi pelajaran tentang arti penting sebuah jeda. Bos Jamu Jago ini menyelipkan esensi empty space di awal konser pianonya yang digelar pada awal tahun sembilan puluhan di Semarang. Waktu itu, ketika hall pertunjukan telah hening dan semua audience telah siap menerima alunan denting piano, Jaya Suprana memecah keheningan ruangan dengan satu pencetan tuts piano saja. Setelah itu, berhenti. Ruangan jadi hening seketika untuk beberapa lama, penonton pada bertanya-tanya.

Selanjutnya, kelirumolog yang pintar berhumor itu lantas mengguyur seluruh ruangan dengan buih-buih nada lewat jemarinya yang menari memainkan tuts-tuts piano. Kenapa Jaya Suprana berhenti untuk beberapa saat setelah menekan tuts piano di awal pertunjukan?

Akhirnya memang terjawab setelah konser usai. Katanya, orang telah punya persepsi yang keliru terhadap jeda. Jeda sering dipahami sebagai sebuah kekosongan belaka. Padahal, menurut Jaya Suprana, sebuah irama bisa terbentuk karena ada jeda antara nada yang satu dengan nada lain. Dalam kosong sebenarnya akan ada isi dan arti kalau kita bisa memaknai.

Hidup di kota besar adalah hidup dengan irama nonstop, sibuk, pekak, cenderung keras, dan seperti tanpa jeda. Berangkat kerja pagi-pagi, berdesakan di jalan, bersaing di kantor, lembur, tidur sebentar, lalu pagi lagi, kerja lagi. Ketika datang jeda pada saat cuti, misalnya, kita mungkin pergi ke tempat terpencil yang jauh. Tapi, tetap dengan laptop yang terus terkoneksi dengan internet dan dengan jaminan jangkauan sinyal operator seluler. Maka, di bungalow yang sunyi itu kita tetap dalam koneksi modernitas yang terus terhubung. Tetap bisa in touch dengan progress pekerjaan, balas email, buka portal news, dan seterusnya. Cuti tapi sibuk. Bahkan, ada yang bersyukur karena diopname di rumah sakit. He he... Lumayan bisa tiduran sambil baca-baca.

Di Jakarta lebih-lebih lagi. Orang bisa ngomel-ngomel lantaran terjebak kemacetan di jalan tol, padahal matahari belum terbit. Siang hari marah-marah lagi. Sebab, gagal menemui relasi karena di jalan berpapasan dengan iring-iringan demonstran. Beberapa bulan terakhir Jakarta telah menunjukkan irama hidup keseharian yang menyedihkan.

Ketika datang week end, semua ruas jalan di ibu kota sungguh mirip garasi panjang yang penuh sesak. Jalanan penuh mobil, tapi nyaris tak beringsut ke mana-mana. Pada Jumat orang beramai-ramai ingin meninggalkan Jakarta untuk berlibur ke mana saja. Mereka semua butuh semacam jeda. Tapi, lama-lama makin susah didapatnya.

Setelah kerja lembur hingga jam sembilan malam, para workaholic ingin mengubur kepenatan dengan mendatangi tempat-tempat dugem yang bertebaran di mana-mana. Tapi, tempat-tempat dugem itu baru buka menjelang tengah malam. Artinya, ada jeda waktu kira-kira tiga jam mulai pukul sembilan hingga pukul dua belas malam yang mereka anggap percuma.

Jeda inilah yang dibidik Cilandak Town Square (orang Jakarte menyebutnye Citos) sebagai pasar baru dari sebuah fenomena kebutuhan hidup modern di Jakarta. Kafe-kafe di mal itu dibuka hingga tengah malam agar orang bisa nongkrong guna menyambung ritme kerja lembur dan dugem sampai pagi. Di Jakarta, selama dua puluh empat jam semua bisa penuh terisi. Tanpa ada jeda, tanpa ada sunyi.

Dalam jagat kelir pewayangan, selalu ada jeda di tengah pertikaian antara Pandawa dan Kurawa yang suntuk dan bertele-tele. Di saat jeda tiba, akan muncul Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong dengan segala keleluasaannya. Punakawan itu muncul untuk memaknai apa arti jeda yang sebenarnya. Mereka bercanda sambil mengkritik dan mengevaluasi bendoronya. Semua bisa guyon tanpa ketersinggungan apa-apa. Jeda di sini saling dipakai untuk melihat siapa masing-masing dari kita sebenarnya, apa yang telah kita lakukan. Masa jeda ini dimaknai sebagai sebuah interlude (selingan) yang memang menjadi kebutuhan bersama. Perjalanan masih berliku-liku dan panjang. Perang melawan korupsi, ketidakadilan belumlah berakhir.

Dalam minggu ini konon akan ada reshuffle kabinet sebagai jawaban atas pertanyaan akan kinerja Presiden SBY. Reshuffle adalah semacam jeda di tengah lima tahun kepemimpinan presiden asal Pacitan itu. Sebagai rakyat, kita sebenarnya hanya ingin melihat jeda itu menjadi semacam ruang kosong yang memungkinkan semua bendoro kita untuk sejenak saling melihat diri masing-masing. Tanpa perlu ada ketersinggungan jika dievaluasi, tanpa perlu berontak kalau harus menanggalkan predikat menteri.

Kalau reshuffle sekadar tukar-menukar posisi, pemerataan jatah jadi menteri, kita pasti tak akan mendapatkan makna apa-apa dari jeda lima tahun pemerintahan SBY kali ini. Cuma omong kosong belaka. (leak@jawapos.com)

Nyabiladiong


Oleh:
Leak Koestiya

Judul ini bukanlah apa-apa. Bukan gabungan suku kata yang dipungut dari tempat terpencil yang jauh dan asing. Ia cuma sebuah ungkapan yang belakangan semakin sering kita dengar: nyambung bila diajak ngomong. Biar kesannya aneh, lantas saya pendekkan. Sesungguhnya, nyabiladiong adalah kebutuhan primitif yang sejak dulu juga ada. Cuma, tidak semendesak sekarang.

Era ini adalah era komunikasi dan aura kebebasan terus bergerak membaik. Era di mana kita sangat dimanja berbagai kemudahan untuk berkomunikasi. Handphone murah, internet dengan speed yang kian tinggi, banyak stasiun televisi, tiket pesawat murah, pulsa murah, bonus SMS gratis, akses kian mudah, dan seterusnya.

Makin hari, kita semakin gampang untuk saling berhubungan. Tapi, semakin sulit untuk saling memahami.

Pada era serbabebas ini, kita juga begitu leluasa bersikap serta memilih. Siapa saya, dia, mereka, dan siapa Anda adalah individu-individu yang semakin kuat perbedaannya. Pemahaman bahwa setiap kita adalah makhluk yang memang berbeda-beda, tentu kita tahu. Tapi, sekarang kian nyata faktanya.

"Saya adalah saya," kata saya. "Saya bukanlah fotokopi bapak saya," kata yang lain. Atau, misalnya lagi, jadilah diri Anda sendiri. Maka, seorang putri yang beranjak remaja akan berkata, "Ma, saya memang anak Mama, tapi nggak bisa kalau harus seperti Mama..."

Kata Khalil Gibran, anakmu bukanlah anakmu. Dan, istrimu memang istrimu. Tapi, kau tak berhak segalanya atas istrimu. Tak lagi musim untuk memaksakan seleranya agar sama. Tak boleh kita kasari jika pendapatnya berbeda. Mau kribo, mau gundul, mau pirang, mau seksi, semua terserah gue. Suka-suka lah.

Kalau kita mau menengok ke belakang, tentu akan terasa: betapa telah sangat berubah semuanya. Sekarang, untuk menjadi artis, tak lagi cantik memukau atau tampan menawan sebagai syaratnya. Bisa seperti Ucok Baba, boleh kacau seperti Thukul Arwana, atau kayak Agnes Monica. Terserah! Yang penting, sebagai individu, sekuat dan sehebat apa kemampuan Anda. Semua punya peluang yang sama, meski jenisnya tak sama. Anjuran tentang keseragaman adalah sesuatu yang terus merosot kepopulerannya.

Paradoksnya, kita semakin sulit menemukan pasangan yang punya kesamaan, bahkan untuk beberapa hal saja. Pasangan untuk menjadi suami istri, sekadar partner ngobrol, teman dekat, tempat curhat, pacar, teamwork, dan lain-lain.

Tanda-tanda krisis saling sulit memahami itu sangat gampang dikenali. Di mana-mana, orang mengidentifikasi diri dan mengenali yang lain dengan cara membentuk kelompok, peguyuban, serta semacam klub-klub. Terkadang, mereka harus berkumpul dari tempat yang jauh terpencar-pencar hanya karena ingin rumpi-rumpian.

Lewat kesenangan dan kesamaan aktivitas, kemudahan-kemudahan untuk berinteraksi mereka bangun. Siapa saya dan siapa Anda menjadi lebih mudah dan cepat dikenali. Klub Penggemar Penthol Baso, Asosiasi Maniak Tempe Penyet, Komunitas Pendaki Gunung Kembar, Klub Pemancing Sandal Jepit Laut Dalam, Perkumpulan Pemilik Vespa Lawas, dan lain-lain. Di komunitas itu, mereka bisa sangat gayeng saat saling ngomong.

Artis-artis selalu lebih transparan dan afdal dalam merefleksikan kenyataan tersebut. Ketika si cantik ini dan si tampan itu ditanya presenter infotainment "apa yang membuat Anda bisa jalan sama dia, lalu berencana hidup berumah tangga?" Jawaban generik yang diucapkan adalah karena dia orangnya enak atau asyik atau menyenangkan karena nyambung bila diajak ngomong.

Apa yang membuat pasangan itu nyambung bila diajak ngomong? Bisa kesetaraan pemikiran, bisa kesamaan kesenangan. Tapi, yang paling esensial adalah adanya saling pemahaman. Seorang pemilik vespa kuno bisa begitu cekatan menolong manakala berpapasan dengan pengendara vespa lain yang sedang mogok di jalan. Pengendara motor jenis lain bisa cuek-cuek saja.

Dalam skala yang lebih besar dan legal, kita mengelompok dalam banyak partai politik. Betapa beragam partai politik kita miliki. Betapa banyak perbedaan yang ada di sini. Betapa besar pemahaman yang sebenarnya kita butuhkan.

Presiden dan wakil presiden termasuk pasangan yang juga begitu baik menunjukkan adanya krisis ketidaknyambungan. Sebab, mereka memang merupakan representasi dari partai yang berbeda. Presiden ngomong begini, wapres ngomong begitu. SBY bersikap begini, Kalla bersikap sebaliknya.

Tapi, keasyikan tiba-tiba muncul begitu mereka berada di tengah-tengah komunitas partainya. SBY dengan Partai Demokrat-nya, Jusuf Kalla dengan Golkar-nya. Semua serbacocok dan nyambung adanya. Sejalan setujuan, sevisi sepenanggungan. Ohoi... ulukuthuk-olokothok, sayuk rukun amargo bolo (rukun karena teman).

Konon, dibutuhkan jiwa kenegarawanan sejati untuk bisa menanggalkan semangat kelompok dan perkoncoan. Agar, bisa memahami serta melihat arti yang lebih besar. Nah, kalau soal ngomong saja sulit nyambung, apalagi soal kerja mengurus negara. Pak SBY-Kalla, please jangan gitu dong, ah... Kita capek deh!

Ngomong apa saya ini, Anda nyabiladiong? (leak@jawapos.com)

Simon Cowell, Amien Rais, dan Slamet Gundono

Leak Koestiya

"Buat apa membeli seikat bunga kalau mampu membeli payudara."
Simon Cowell, juri American Idol.

Simon adalah pengkritik yang sangat pedas dan tajam. Kadang-kadang ia kita rasakan sebagai juri yang angkuh dan sombong. Makna kalimat yang ia ucapkan di atas adalah kekuasaan. Kekuasaan laki-laki yang merasa sangat perkasa karena banyak duit atas perempuan. Sebagai miliarder pemegang hak paten American Idol -oleh majalah Forbes, Simon ditempatkan dalam deretan 100 selebriti terkaya di dunia- Simon Cowell adalah penguasa pemegang kuasa. Raja di altar keraton kultur pop yang bisa bilang apa saja terhadap peserta audisi calon bintang idola Amerika. Uangnya melimpah, mengalir dari berbagai stasiun televisi yang tersebar di berbagai penjuru bumi. Dolar, rupiah, yen, euro seperti terus bermuara ke dompetnya yang kian tebal hingga tak bisa ditekuk. Meski, kadang ia tak berselera untuk duduk di meja panel penjurian.

"Malam ini saya seperti sedang di depan kamar mandi dan mendengarkan orang bernyanyi dengan kacau," kata Simon suatu kali mengomentari kontestan yang tampil pas-pasan. Ia lalu cuek meninggalkan meja penjurian menuju limusin mewah, kemudian pergi entah ke mana. Paula Abdul cuma bisa melongo. Kontestan idol yang baru saja dikomentari mendadak merah mukanya. Kalau ingin mengusir sumpek, Simon menyewa vila termahal di Pantai Copa Cabana, Rio de Jeneiro. Lalu diajaklah pacar dan mantan pacar-pacarnya untuk berlibur bersama selama berhari-hari.

"Semua orang pasti ingin kaya. Simon adalah orang yang senantiasa berusaha keras menikmati kekayaannya," kata selebriti lain yang iri berat melihat cuplikan tayangan Simon sedang tertawa-tawa sambil memegang gelas sampanye dengan wanita-wanita cantik di sekelilingnya. Simon memang subur-makmur. Semua kekayaannya adalah buah dari kritik-kritik pedasnya. Sekarang, bahkan, banyak program televisi di luar American Idol yang mengajukan tawaran kepadanya. Bunyi proposalnya: kritik kami sepedas-pedasnya!

Di sini, di negeri kita ini, mutu kritik tetap seperti yang dulu-dulu. Kalau terdapat peserta audisi yang penampilan suaranya buruk dan jelas-jelas tak ada kecocokan menjadi penyanyi, juri-juri akan bilang: sorry Anda masih kurang. Cobalah berlatih lagi! Kritik semacam itu kedengarannya lebih merdu di telinga, tapi sesungguhnya sangat menjebak kita. Sepertinya, menjadi artis dan idola bisa diraih dengan tanpa talenta dan latihan sekadarnya. Sebaliknya, ketika bertemu peserta yang kemampuannya lumayan, juri pun tidak segan berkata: luar biasa! Ada semacam kebiasaan manipulasi kenyataan dari kenyataan sesungguhnya.

Kita sangat terbiasa dengan situasi seperti ini. Kritik tidak dilihat dari esensi sesungguhnya. Mengkritik bisa dianggap melecehkan, memojokkan, menyerang, bahkan tak jarang diterjemahkan ingin menjatuhkan. Akibatnya, pemenang audisi Idol-idolan kita pun tak mampu jadi artis dan idola beneran. Semakin banyak saja idola hasil SMS yang begitu cepat kita lupakan namanya. Amatir yang dipuja-puja, seperti petinggi yang selalu ingin dipuji-puji. Ujung-ujungnya, para pejabat langsung terlihat bejatnya begitu tidak lagi menjabat. Saat masih menjabat, betapa steril mereka terhadap kritik. Juga betapa mahir mereka meredam kritik. Yang mengkritik dibungkam pakai sogokan. Uangnya dari duit hasil colongan.

Tengoklah sel-sel dalam penjara kita sekarang. Ruang-ruang pengap berjeruji itu penuh sesak dengan para mantan petinggi. Menteri, pejabat pemprov, para bupati, dan anggota dewan berkumpul jadi satu dengan pencopet terminal bus. Sepertinya, semasa masih menjabat mereka diam-diam mengavling ruang penjara untuk ditempati di masa tuanya.

Tapi, betulkah sekarang kita masih perlu kritik? Bukankah kita merasa lebih nyaman bila Amien Rais tak meneruskan kritiknya soal dana kampanye yang juga mengalir ke tim SBY? Bukankah kita lebih bahagia kalau mereka seolah-olah rukun meski sebenarnya sama-sama curang?

Saya mengenal Slamet Gundono, ki dalang wayang "Amuba" (moveable and untouchable) dari komunitas Wayang Suket, sejak puluhan tahun lalu ketika masih kuliah dulu. Ia adalah arsitek kritik yang sangat rajin merunut masa lalu dan intens memikirkan peradaban yang akan datang yang lebih beradab. Merekam kejadian-kejadian paling kini untuk kemudian direkonstruksi dan digarap menjadi sebuah pertunjukan seni yang bermutu. Kulit yang membalut sekujur tubuhnya ia fungsikan seperti membran untuk mendengar suara paling halus, bahkan terhadap apa yang terjadi dalam dialog-dialog batin wayang-wayang zaman dulu.

Semalam, Ki Slamet Gundono kembali mementaskan karyanya di Festival Seni Surabaya. Ia menyuguhkan serangkai kepingan pengalamannya selama mengelana di Berlin dan pertemuannya dengan Monha, pengamen jalanan dari Tibet yang terbuang dari tanah kelahirannya. Konstruksi wayang, dalam konsep Slamet Gundono adalah sesuatu yang masih bergerak. Apa yang ada sekarang adalah sesuatu yang ia yakini belum berakhir, tapi terus berproses. Itulah kenapa setiap pementasan Wayang Suket selalu aktual. Sebab, panggung selalu ia buka untuk masuknya berbagai elemen dan peristiwa apa saja.

Dalam obrolan saya dengan ki dalang Wayang Suket sehari sebelum pementasan, ada semacam pertarungan rumit dalam pikirannya ketika dalam perjalanan dari rumahnya di Solo menuju Surabaya. Kecamuk itu ialah apakah ia akan memasukkan peristiwa-peristiwa menyedihkan yang terjadi beberapa hari ini ke dalam pementasannya atau tidak? Menurut dia, Choirul, bocah Pasuruan berusia lima tahun yang dadanya robek menganga oleh peluru aparat, adalah sesuatu yang sangat-sangat dramatis dan memilukan. Sungguh jauh lebih dramatis dibanding pentas kesenian mana pun.

Kalau terhadap dada menganga dan rasa sakit si bocah ini saja para jenderal kita tak tersentuh hatinya, apakah terhadap kritik masih mempan? Kritik dalam bentuk kesenian lagi... (leak@jawapos.com)


Filsafat Paku Beton


Oleh:
Leak Koestiya

Ada dua jenis paku beton. Masing-masing punya filsafat yang berbeda. Jenis pertama, warnanya putih keabuan. Paku ini akan bengkok bila tak mampu menancap di tiang atau dinding beton saat dihantam palu. Yang kedua, warnanya hitam. Paku ini akan patah bila tak kuat menahan pukulan palu, sementara beton begitu kerasnya. Saat si paku menjadi bengkok ataupun patah adalah saat di mana kita sedang kecewa. Jengkel karena keringat menguap sia-sia namun tanpa hasil apa-apa.

Saya patah arang juga dengan tembok cor-coran yang terlewat keras begini. Gagal menggantungkan lukisan bunga di ruang dapur karena gagal menancapkan paku di dindingnya. Pikir-pikir, kita memang butuh rumah yang tidak rapuh dinding-dindingnya. Tapi rasanya, tak perlu terlalu keras seperti batu candi. Agar masih ada pori-pori tersisa yang memungkinkan sebuah paku bisa menyusup di celah-celahnya. Kurang percaya, sekali lagi saya mencoba meraba dinding itu. Ohoi... kerupuk empuk, watu atos. Koruptor gemuk, rakyat ngowos!

Orang Surabaya biasa menyebut koruptor, garong, maling, preman, tukang tadah, maupun pencoleng kebal hukum yang bertebaran di negeri ini sebagai watu alias batu. Mereka adalah orang-orang yang tak bisa takluk oleh paku dan ketuk palu pengadilan. Mengapa begitu keras dan kebal? Semua elemen yang membuat dirinya menjadi sekeras batu mereka punya. Seperti halnya tiang beton yang terdiri atas campuran semen, koral, pasir kasar, dan rangka kawat besi. Seorang garong atau koruptor ibarat sebatang tubuh yang terdiri atas kenekatan, kelicikan, kepiawaian menyuap hakim, punya backing polisi, uang, termasuk kemampuan membayar pengacara yang tangguh. Makanya, tak gampang menangkap dan menyeret koruptor -lebih-lebih kelas kakap- ke pengadilan.

Yang kita catat dari para presiden kita, baik Habibie, Gus Dur, Megawati, maupun SBY adalah: mereka mengingkari janji untuk mengayunkan palu hukum kepada para koruptor yang menggasak duit rakyat, untuk kemudian mengirimnya ke penjara. Lebih-lebih mereka yang telah kabur keluar negeri bersama harta hasil jarahan. Yang di dalam negeri saja susah ditangkap, apalagi yang di Singapura, Tiongkok, dan Kanada.

Gus Dur sebenarnya seorang yang boleh dibilang punya keseriusan sekaligus menyadari kekerasan beton itu. Sadar betapa perangkat yang menyertainya tak akan mampu memecah para watu, Gus Dur menempuh cara lain. Barangkali tetesan air akan bisa mengikis kerasnya batu.

"Wahai para koruptor, kembalikan saja duit hasil korupsimu kepada negara. Maka aku akan jamin kau tak akan masuk penjara," kata Gus Dur. Kurang lebih begitulah tetesan kalimat waktu itu. Kata-kata Gus Dur itu, meski tidak setajam dan sekuat paku beton, cukup merangsang dan menelusup pori-pori. Setidaknya buat para koruptor yang masih ingin hidup bebas tanpa ancaman pengadilan. Banyak duit itu nyaman, tapi kalau harus hidup dalam penjara apa enaknya. Barangkali begitulah pesannya. Gus Dur berharap kata-katanya mampu merembes dalam pori-pori batu yang keras. Selanjutnya luluhlah hati para koruptor, lalu menyerahkan hartanya untuk negara. Tapi, seperti halnya air yang menetes menempa batu, perlu cukup waktu untuk menggerus sebuah kesadaran. Dan perlu cukup waktu untuk mempercayai kata-kata Gus Dur.

"Siapa tahu setelah duit diserahkan, ternyata para koruptor kemudian diborgol," kata para koruptor dalam hati. "Emangnya gue pikirin. Gitu aja kok repot," kata Gus Dur seperti biasanya.

Sayangnya, Gus Dur keburu digusur, sementara para koruptor masih mikir-mikir dan belum percaya betul akan kata-katanya.

Sekarang kita seperti menyaksikan paku-paku beton sedang bengkok dan memble melawan batu. Meski belum dibubarkan, kini telah habis masa tugas Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor). Terdiri atas 45 anggota, tim ini dilantik Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka pada 4 Mei 2005. Dalam keppres disebutkan, masa tugas Timtastipikor adalah dua tahun dan dapat diperpanjang apabila diperlukan.

"Tak usah diperpanjang. Lebih baik bubarkan saja Timtastipikor. Karena pemberantasan korupsi berjalan begitu lambannya," kata Koordinator ICW Teten Masduki. Kekecewaan Teten adalah kekecewaan kita yang lama.

Tak hanya lamban, tapi juga pilih-pilih. Maka, pantas saja jika ada tersangka kasus korupsi yang merasa dikerjai penguasa sekarang. Si tersangka merasa, apa yang dilakukan SBY dalam memberantas tindak korupsi tak lebih dari operasi tebang pilih semata. Seorang tersangka merasa dibabat bukan karena telah menjadi benalu yang merugikan negara. Tapi, disebabkan: sebagai benalu dia menempel pada pohon-pohon yang ditanam dan disiram oleh rezim sebelumnya. Padahal, rezim sekarang pun potensial menciptakan benalu serupa.

Terus, kapan tembok korupsi yang kukuh tinggi menjulang itu bakal roboh oleh hantaman palu yang mengayun sekeras-kerasnya? Tanda-tandanya belum ada. Apalagi filsafatnya. (leak@jawapos.com)


Rabu, 18 Juli 2007

Golkar Sebagai Partai Oposisi, Mungkinkah?


Oleh Eki Syachrudin

PERTENGAHAN 1997, saat Orde Baru dijepit aneka kekuatan reformasi, saat itu Golkar mampu bertahan berkat strategi "menyerang untuk bertahan". Beberapa pimpinan DPP Golkar seperti Fahmi Idris dan Marzuki Darusman mencanangkan Golkar sebagai partai oposisi, terhadap semua elemen yang menghujatnya. Pemikiran ini lalu menjadi sikap partai, dengan slogan "Golkar Baru".

Namun huruf "r" dari kata baru, diplesetkan penyebutannya sebagai "bau". Meski demikian, mereka tak peduli dan dengan nyaring tetap menyebut diri sebagai Golkar Baru. Dengan sepak terjang sebagai partai oposisi itulah Golkar mempunyai semangat tinggi, bagai "banteng-ketaton" menghadang segala serangan yang ditujukan kepadanya. Meski banyak kantor DPD tingkat I dan II yang hancur, namun jiwa mereka tidak kendur. Hasilnya menakjubkan. Pada pemilu DPR pertama Golkar sebagai runner-up dan pemilu berikut meraih kursi terbesar, mengalahkan perolehan PDI-P.

Kemudian muncul soal yang agak musykil, opsi pilihan duet MM (Mega-Muzadi) atau duet YJ (Yudhoyono-Jusuf). DPP memilih duet MM. Banyak yang terperangah, sebab hubungan PDI-P dan NU di satu pihak dengan Golkar di sisi lain boleh dikatakan kurang produktif sepanjang awal era reformasi. Fahmi dan kawan-kawan berpendapat, pilihan pada SBY-JK dianggap lebih cocok sebab sebagai mantan jalur A, SBY dan Jusuf -Kalla yang keluarga sendiri, platform Golkar tentu jauh lebih cocok, ketimbang dengan Mega-Muzadi. Tetapi DPP lebih berpikir dalam jargon real-politics sebab duet MM lebih mungkin keluar sebagai pemenang. Bagi DPP, buat apa berkoalisi dengan teman sendiri tetapi kalah. Fahmi cs, menganggap DPP lebih condong kepada kekuasaan ketimbang pada nilai.-nilai. Bagi Fahmi cs kalah bukan akhir dari perjuangan, sebab partai bisa memilih peran sebagai kekuatan oposisi, seandainya duet SBY-JK kalah.

Hasrat Fahmi Idris dan Marzuki yang menghendaki peran oposisi dalam kehidupan politik, tak kesampaian, sebab ternyata duet SBY-JK menang. Sebaliknya hasrat DPP untuk turut dalam kekuasaan juga tidak kesampaian, sebab duet MM kalah. Semuanya bagai "balik-bakul". Mungkinkah Akbar menjadi bagian kekuatan oposisi?

DENGAN relasi-relasi politik mutakhirnya, dibanding calon-calon ketua yang lain, Akbar merupakan orang yang paling siap melakukan oposisi. Sementara itu perpolitikan nasional kita memerlukan peran itu. Tetapi akan timbul pertanyaan, wajarkah Golkar beroposisi kepada pemerintahan yang Wapres dan beberapa Menterinya dari Golkar ? Ataukah Golkar lebih wajar menjadi bagian pemerintahan. Bagaimana peran oposisi yang amat diperlukan setiap sistem politik yang demokratis ?

Fungsi oposisi dalam perjalanan sejarah masih belum mapan. Pada era Demokrasi Liberal (1945-1957-an), oposisi dilakukan berlebihan. Sebaliknya pada era Demokrasi Terpimpin (1958-an-1966) dan Demokrasi Pancasila (1967- 1997an), oposisi dianggap sebagai barang haram, akibatnya pemikiran politik bangsa pada dua kurun waktu itu boleh dikata steril dan totalitarian. Ketika kebanyakan negara dunia ketiga masih mencari-cari bentuk demokrasi, di belahan bumi lain (Barat), oposisi merupakan suatu tradisi yang mapan dalam demokrasi mereka.

Di sana oposisi diperlukan agar partai yang berkuasa tidak tergelincir pada kesalahan berkelanjutan dan bila suatu pemerintahan tidak cakap, pada pemilu berikutnya mereka bisa diganti secara damai. Rakyat memerlukan proses oposisi yang direlay secara transparan dan luas oleh media massa, dengan demikian masyarakat bisa mendapat politik. Oleh pengetahuannya itu rakyat bisa menjatuhkan pilihan kepada partai yang dianggapnya lebih jujur dan lebih mampu.

Budaya perpolitikan berdasar semangat ke-oposisi-an ini tak berlaku di sebagian besar negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Di kedua kawasan ini pemerintahan dijalankan secara "gotong-royong" di bawah pimpinan seorang "bapak" bangsa. Harapannya negeri bisa stabil, menjadi adil, dan makmur. Ironisnya justru di negeri-negeri tanpa oposisi itu keadaanya kurang stabil, kurang adil dan secara umum tidak makmur. Sementara negeri-negeri Barat yang melakukan oposisi, keadaannya relatif lebih stabil, lebih adil, jauh lebih makmur.

Akankah Indonesia mulai melaksanakan kaidah politik beroposisi agar negeri bisa lebih stabil dan lebih makmur? Saya kira masyarakat politik (partai, pemerintah, legislatif, yudikatif, aparat keamanan, tentara, polisi, perguruan tinggipun), masih belum sreg tentang perlu tidaknya konsep oposisi. Mengapa? Jawabnya, mungkin, akibat buruknya citra istilah oposisi sepanjang Orde Lama dan Orde Baru yang hampir 40 tahun itu.

Padahal sebelum kemerdekaan, kata oposisi hampir merupakan konsekuensi perjuangan melawan penjajahan. Bentuk oposisi kaum kebangsaan (Soekarno-Hatta) diwujudkan melalui kosa kata "non-koperasi", sementara kaum santri (Kyai Wasid Cilegon dan Kyai Mustofa Garut) mewujudkannya dalam aneka bentuk yang disebut "jihad", sedangkan kaum komunis (Alimin-Dharsono) mewujudkannya dalam istilah "revolusi"(tahun 1927 di Menes dan Silungkang).

Saat itu oposisi dilihat dari kacamata kaidah berpikir dianggap benar bahkan keharusan jika dihubungkan dengan konsep Indonesia merdeka. Ketika Indonesia sudah merdeka, untuk apa ada oposisi? Namun data empirik mengatakan, negara-negara yang tidak memberlakukan chek and balances melalui fungsi-fungsi partai oposisi yang proporsionil, negeri-negeri itu (Afrika dan Timur Tengah), menjadi tidak stabil, tidak aman, tidak adil dan kemakmurannya tidak merata.

OLEH dunia pertama, setidaknya oleh Kanada, Indonesia dianggap sudah kompatibel dengan sistem demokrasi, meski mayoritas penduduknya beragama Islam (maksudnya berbeda dengan kebanyakan negeri muslim lain). Mana ada demokrasi (di Barat) tanpa ada partai oposisi? Apakah pemerintah kita tidak khawatir?

Saya kira tak perlu khawatir, apalagi takut, sebab bila ada partai yg melakukan oposisi kepada gebrakan antikorupsi yang dilancarkan pemerintahan SBY, mereka bisa dianggap sebagai pembela kaum koruptor, dan bila begitu pasti merugikan kedudukan mereka dalam pemilu mendatang. Tetapi jika mendukungnya, bukankah itu berarti akan memperkuat pemerintah di mata rakyat? Karena itu selama pemerintah benar, tak ada alasan untuk khawatir terhadap kaum oposisi. Bila Indonesia mampu melaksanakannya, posisi Indonesia dalam percaturan internasional akan lebih baik lagi.

Di Kanada oposisi bukan berarti gangguan kepada kursi kekuasaan, sebab setiap kuasa ada batas waktunya (empat tahun). Oposisi sebagai sikap politik dilakukan oleh partai yang kalah agar tidak ketinggalan dalam memberantas yang "mungkar" atau untuk menegakkan yang "makruf", sebagai jembatan untuk menang dalam pemilu berikut. Saya pikir beroposisi dalam pengertian menolak opsi yang salah dan mendukung konsep-konsep pemerintah bila benar, merupakan kebutuhan semua pihak.

Akankah Golkar menjadi bagian Pemerintahan SBY-JK yang sedang menghantam korupsi, atau menjadi oposisi konstruktif, di mana sesekali mengkritik pemerintah jika ada hal-hal yang keliru? Jawabannya terpulang pada pembahasan di Munas sekarang. Selamat bermunas.

Eki Syachrudin Mantan Dubes Kanada

Konglomerasi Politik

Oleh Sukardi Rinakit

AMIEN Rais benar. Majunya Jusuf Kalla ke bursa Calon Ketua Umum Partai Golkar, jika terpilih, akan menjadi lonceng kematian demokrasi. Hal itu terkait dengan terjadinya komplikasi karena menyatunya tiga sumber daya politik pada diri Jusuf Kalla, kekuasaan, bisnis, dan partai politik (Kompas, 16/12/2004).

Secara lateral, majunya Jusuf Kalla merefleksikan logika pengusaha yang selalu ingin menguasai sektor industri dari hulu sampai hilir. Dalam ranah politik, fenomena demikian, sebut saja sebagai konglomerasi politik. Partai besar dikuasai, parlemen dijadikan tukang stempel, kebijakan pemerintah dikontrol, dan suksesi kepemimpinan nasional digenggam erat selama mungkin. Masyarakat Indonesia harus waspada karena ada peringatan Lord Acton yang tetap relevan: Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.

Argumen itu bukan dimaksudkan untuk mendelegitimasi Jusuf Kalla. Kritik harus tetap diberikan kepada siapa pun yang sedang berlaga memperebutkan atau mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan napas demokrasi. Alasan Jusuf Kalla maju, karena diminta DPD-DPD, tidak bisa diterima begitu saja. Setiap dukungan tidak harus disetujui apalagi jika hal itu bertentangan dengan salah satu nilai demokrasi, yaitu pembagian kerja.

Posisi sebagai wakil presiden sudah cukup sibuk dan menuntut tanggung jawab moral besar. Apalagi jika diingat, pasangan presiden-wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat. Mengapa masih mengejar posisi ketua umum partai? Mengapa tidak mengejar penyebab seorang ibu yang terpaksa bunuh diri karena frustrasi tidak bisa membawa anaknya ke dokter? Mengapa tidak mengejar pelaku pembunuhan Munir? Padahal dua kasus itu adalah cermin bening dari masih dalamnya lorong kemiskinan dan luasnya ketidakadilan di republik ini.

JIKA saya seorang jenderal atau pengusaha, umur setengah abad lebih, anak- anak sudah mandiri dan kini saya menjadi presiden atau wakil presiden, maka tidak ada yang saya takuti kecuali rakyat dan Tuhan. Kalaupun saya akhirnya "di-Munirkan" (dibunuh) oleh kelompok tertentu karena memperjuangkan demokrasi, kesejahteraan, dan hak rakyat, sebagai seorang pemimpin, setidaknya saya meninggalkan catatan yang bisa menjadi pelajaran bagi anak bangsa di masa depan.

Dengan demikian, terasa aneh jika perburuan posisi ketua partai politik, seperti kasus Jusuf Kalla, masih menjadi prioritas. Hal itu tentu memicu perdebatan di seputar alasan Jusuf Kalla untuk tetap maju di Munas Partai Golkar.

Alasan pertama berkait upaya memperlemah kekuatan oposisi. Rencana pemerintah menaikkan harga BBM dan aneka kebijakan yang kurang populer lain mulai tahun depan, diperkirakan akan ditentang Koalisi Kebangsaan. Dalam konteks ini, pamor Koalisi Kebangsaan akan naik. Sebaliknya, kewibawaan pemerintah bisa merosot. Ada kesan, pemerintah mengalami ketakutan berlebihan sehingga untuk mengurangi degradasi citra dan kewibawaan pemerintah di mata rakyat, Partai Golkar harus direbut. Dengan demikian, Koalisi Kebangsaan akan pecah, tinggal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang akan menggempur pemerintah.

Alasan kedua berkait target politik Jusuf Kalla untuk menjadi kandidat presiden 2009. Jika menjadi Ketua Umum Partai Golkar, hampir otomatis akan dicalonkan sebagai kandidat presiden pada Pemilu 2009, maka posisi ketua umum menjadi strategis diperebutkan. Terlebih karena Golkar adalah partai terbesar.

Alasan terakhir adalah persoalan peningkatan posisi tawar Jusuf Kalla terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan menguasai Golkar, posisi tawar Jusuf Kalla akan kuat. Bahkan tidak tertutup kemungkinan dia akan menjalankan peran sebagai kepala pemerintahan, sementara Susilo Bambang Yudhoyono menjadi kepala negara. Dengan istilah lain, roda pemerintahan dan pengambilan keputusan ada dalam rentang kendali Jusuf Kalla.

Tetapi laiknya praktik konglomerasi, ketidakefisienan menjadi masalah utama. Karena itu jika Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Umum Golkar, fenomena konglomerasi politik pasti akan membunuh proses check and balance antara parlemen dan pemerintah. Mayoritas suara parlemen akan menjadi suara pemerintah, monolit, dan akhirnya dilipat memasuki alam otoriterianisme. Pendeknya, lampu demokrasi akan meredup dan kita kembali ke alam politik Orde Baru. Bagi Jusuf Kalla mungkin bakal berlaku pepatah Jawa: Menang ora kondang, yen kalah ngisin-ngisini, ’Menang tidak jadi terkenal, kalau kalah memalukan!’

NAMUN, politik sering tidak berjalan linear. Bisa jadi karena Jusuf Kalla maju menjadi kandidat, konfigurasi politik tiba-tiba berubah. Seorang demokrat seperti Marwah Daud, tidak tertutup kemungkinan akan mengambil sikap netral. Dia risih melihat seorang wakil presiden yang masih mengejar posisi ketua umum partai politik. Dengan netralitas demikian, terbuka peluang bagi kubu Akbar Tandjung untuk mendekati pendukung Marwah. Padahal sosok seperti Marwah sebenarnya patut ditengok untuk memimpin Golkar agar partai itu mempunyai napas baru.

Sama dengan kubu Marwah, sayap Wiranto juga mulai ragu dengan fenomena konglomerasi politik Jusuf Kalla. Jika Wiranto akhirnya mendukung Akbar Tandjung, misalnya, tidak tertutup kemungkinan Akbar akan menang dalam pertempuran melawan Jusuf Kalla. Dukungan DPD II yang masih banyak dipimpin eks TNI merupakan peluang bagi Akbar. Selain itu, memberikan hak pada DPD II untuk ikut memilih juga merupakan kampanye tersendiri bagi kubu Akbar. Tidak tertutup kemungkinan Akbar justru bisa menarik keuntungan dari situasi ini karena sebagian DPD II akhirnya menjadi simpati kepadanya.

Kemungkinan lain dari pergerakan politik yang tidak linear adalah sikap politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Jika Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Umum Golkar, misalnya, tidak tertutup kemungkinan PKS dan PAN akan mundur dari arena Koalisi Kerakyatan dan mengibarkan bendera oposisi. Fenomena konglomerasi politik tentu tidak akan mengenakkan mereka karena bertentangan dengan napas demokrasi. Jika hal itu terjadi, konfigurasi politik yang berlaku kini akan berubah dengan PKS, PAN, PDI-P, dan PKB menjadi spoiler (oposan) terhadap hegemon (pemerintah). Sebaliknya, Partai Demokrat dan Golkar akan menjadi supporter dari kekuasaan. Tetapi memprediksi politik Indonesia memang tidak mudah. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Sukardi Rinakit Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate

Minggu, 15 Juli 2007

JK Digoyang Isu Munaslub
Selasa, 03 Juli 2007, 15:58:01 WIB

Laporan: M Hendry Ginting


Jakarta, Rakyat Merdeka. Kritik pedas terhadap sepak terjang Ketua Umum Golkar, Jusuf Kalla terus bergulir.

Kritik itu berhamburan, karena wakil presiden itu merestui Surya Paloh menggelar pertemuan, untuk membentuk koalisi Partai Golkar dengan PDI Perjuangan di Medan, serta mengadakan pertemuan dengan Sultan Hamengku Buwono di Jogjakarta beberapa waktu lalu.

Salah satu kritik tersebut keluar dari Ketua Bidang Kepemudaan Partai Golkar, Idrus Marham, dalam diskusi bulanan konsolidasi pembaharuan Partai Golkar, bertema “Ada Apa dengan Partai Golkar?”, di Jakarta siang tadi (Selasa, 3/7).

Dia mengatakan, jika Golkar mau tetap eksis, maka Golkar harus kembali kepada jati dirinya, dengan jalan kekaryaan seperti dulu. Dengan demikian, lanjutnya, calon pemimpin Golkar ke depan adalah orang yang berkarya dan berkomitmen kepada Golkar, bukan pengusaha seperti Jusuf Kalla. “Tidak ujuk-ujuk datang dan menjadi pemimpin Golkar karena memiliki uang yang banyak,” tukasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Partai Golkar, Zainal Bintang mengatakan, dari segi sumber daya manusia (SDM) Partai Golkar memiliki banyak orang, yang memiliki kredibelitas yang tinggi.

Namun dalam perjalanannya, tambah Zainal, ada anomali antara kepemimpinan saat ini dengan kalangan muda Partai Golkar. Untuk menyakini anomali ini, lanjutnya, Partai Golkar harus mengadakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) secepatnya. “Di dalam Partai Golkar Munaslub tidak diharamkan, asalkan memenuhi persyaratan,” ujarnya.

Selain untuk menyakini anomali, sambung Zainal, Munaslub juga berguna untuk mengukur kembali legitimasi kepemimpinan Jusuf Kalla. “Yang kedua untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan yang ada di dalam Golkar,” tandasnya. atm
Zainal Bintang: Surya Paloh & JK Makar
Selasa, 03 Juli 2007, 15:22:07 WIB

Laporan: Sugihono


Jakarta, Rakyat Merdeka. Pertemuan antara Partai Golkar dan PDI Perjuangan di Medan, Sumatera Utara beberapa waktu lalu, merupakan makar politik yang dilakukan Surya Paloh dan kawan-kawannya.

Hal tersebut dinyatakan Ketua Bidang Ketenagakerjaan Partai Golkar, Zainal Bintang dalam diskusi bulanan konsolidasi pembaharuan Partai Golkar, bertema “Ada Apa dengan Partai Golkar?”, di Jakarta siang ini (Selasa, 3/7).

Zainal menilai, pertemuan di Medan itu merupakan petualangan politk Surya Paloh. Menurut dia, meskipun Surya Paloh sudah berbicara langsung dengan Jusuf Kalla (JK), untuk mengadakan pertemuan tersebut, tapi Surya Paloh tidak memiliki kewenangan untuk melakukan sebuah pertemuan, apalagi pertemuan itu memutuskan pembentukan koalisi dengan PDI Perjuangan, dalam menghadapi pemilu dan pilpres 2009.

Hal itu, lanjutnya, dikarenakan bentuk kepemimpinan di Partai Golkar yang menggunakan sistem kepemimpinan kolektif. Atinya, sambung Zainal, segala keputusan strategis seperti keputusan membentuk koalisi tersebut, harus diputuskan dalam rapat pleno. “Dan saya, sebagai salah satu anggota rapat pleno itu tidak pernah diajak bicara. Begitu pula dengan anggota yang lain,” ujarnya.

Zainal menegaskan, pertemuan di Medan itu tak ubahnya makar politik seperti yang dilakukan Jusuf Kalla, saat menggelar rapat konsultasi Partai Golkar dengan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono, di Jogja.

Apalagi, imbuhnya, Jusuf Kalla (JK) memberi restu politik kepada Surya Paloh, untuk mengadakan pertemuan dan koalisi itu. “JK bukanlah CEO Partai Golkar. Dia hanyalah CEO PT Bukaka,” tandasnya. atm

Sabtu, 14 Juli 2007

06/07/2007 18:27 WIB
Sungkan SBY, Kencan PDIP-Golkar Berakhir di Palembang
Muhammad Nur Hayid - detikcom

Jakarta - Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla yang mengharapkan pertemuan di Palembang dijadikan pertemuan terakhir antara PDIP-Golkar dinilai wajar. Sebagai partai pendukung pemerintah, Golkar sungkan kepada Presiden SBY.

"Wajar saja kalau JK atau Golkar sebagai partai pemerintah segan dan sungkan dengan SBY karena sering dengan partai oposisi," ujar Ketua FPDIP, Tjahjo Kumolo kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (6/7/2007).

Menurut Tjahjo, Pertemuan Medan-Palembang merupakan komitmen PDIP-Golkar untuk keutuhan NKRI.

"Prinsipnya, pertemuan Medan-Palembang secara terbuka menunjukkan PDIP dan GOlkar merupakan partai yang komitmen terhadap NKRI dan Pancasila serta kemajemukan bangsa," kata Tjahjo.

Bagi Tjahjo, tidak masalah jika setelah pertemuan di Palembang dihentikan begitu saja.

"Bagi PDIP yang penting kualitas, bukan kuantitas pertemuan," kata dia.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPP Golkar Agung Laksono menyatakan, pasca pertemuan Palembang akan dievaluasi kembali apakah cukup di Palembang saja atau di teruskan. Keputusan ini diambil dalam rapat DPP yang juga dihadiri oleh JK. (anw/ana)
JK: Usulan Munaslub Golkar Hanya Pendapat Pribadi
Ken Yunita - detikcom
Jakarta - Usulan musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar yang digelindingkan kader Golkar dibantah oleh Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla. Usulan ini dinilai sebagai pendapat pribadi saja.

"Itu kan cuma pendapat anak-anak saja," kata Kalla dalam jumpa pers di Istana Wapres, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Jumat (6/7/2007).

Selain membantah rencana Munaslub itu, Kalla mengatakan, Munaslub ini tidak mudah pelaksanaannya dan harus seizin dirinya. "Oh itu Munaslub. Ah nggak ada itu dan itu tidak mudah," ujarnya.

Ketua Bidang Tenaga Kerja DPP Golkar, Zaenal Bintang, pernah mengklaim usulan Munaslub diusung 17 DPD. Alasan mengusung Munaslub karena Kalla cs dinilai membuat kebijakan yang inkonstitusional.

Zaenal bahkan menyebut Ketua Dewan Pembina DPP Golkar, Surya Paloh, sebagai figur yang bisa memimpin partai berlambang pohon beringin ini. (mly/nrl)
2009, Kuburan Bagi Golkar
Senin, 04 Juni 2007, 06:18:15 WIB


Sultan HB X Diminta Selamatkan Partai Beringin

Sultan Hamengku Buwono X diminta untuk turun ta­ngan menyelamatkan Partai Golkar yang ter­an­cam perolehan suaranya anjlok pada Pemilu 2009.

KETUA Kaukus Muda Partai Gol­kar, Kamrussamad menilai di ba­wah kepemimpinan Jusuf Kalla, partai beringin ini se­ma­kin sulit melakukan konsolidasi in­ternal. Padahal, pemilu tinggal se­bentar lagi.

Kesibukan sebagai Wakil Pre­si­den, menurut Kamrussamad, tak memungkinkan bagi Kalla un­­tuk melakukan konsolidasi par­tai sampai ke tingkat yang ter­endah. “Seharusnya pimpinan par­tai tahun 2007 ini sudah be­ra­da di pelosok-pelosok desa un­tuk melakukan konsolidasi. Tapi malah sibuk mengadakan P2KB (Pendidikan Politik Kader Bang­sa),” ujarnya.

Menurut penggagas acara Rem­bug Nasional Partai Golkar ini, kegiatan P2KB itu jauh dari ke­butuhan rakyat. Seharusnya, ka­ta dia, Partai Golkar ikut ber­pe­ran dalam mengatasi harga mi­nyak goreng yang terus meroket dan tak terjangkau rakyat kecil.

“Padahal, Indonesia adalah peng­hasil kelapa sawit terbesar di dunia. Golkar kembalilah ke pang­kuan rakyat. Jika tidak, ku­bu­ran sudah disiapkan pada Pe­mi­lu 2009. Penyelamatan Partai Gol­kar juga akan dilakukan le­wat Rembug Nasional dalam wak­tu dekat ini,” jelas Kamrus­sa­mad yang juga wakil sekjen DPP Angkatan Muda Pembaruan Indonesia (AMPI) ini.

Melihat kondisi seperti ini, Kam­russamad meminta Sultan Ha­mengku Buwono X yang juga ang­gota Dewan Penasihat dan pa­nutan partai turun tangan me­nyelamatkan Golkar. “Bila di­biar­kan suara Golkar bisa anjlok pada 2009,” tandasnya.

Menanggapi hal itu, fung­sio­naris Partai Golkar Natsir Man­sur tak mempermasalahkan ke­ge­lisahan yang disampaikan Kau­kus Muda Partai Golkar itu. “Orang muda memang harus krea­tif, kritikus. Itulah sifat orang muda. Apa yang dikatakan Kamrusamad itu, sah-sah saja. Sebagai orang mu­da mengkritik orang tua sah-sah saja,” ujar orang dekat Kalla itu.

Natsir pun tak mempersoalkan aca­­ra Rembug Na­sio­nal yang di­ga­gas Kau­k­us Muda Par­tai Gol­kar. “Se­pan­jang usulan dari ge­ne­rasi muda itu kons­truktif dan kon­stitusional, sa­ya oke-oke sa­ja,” ka­ta anggota De­partemen Hu­­bungan Luar Ne­geri dan Per­ta­hanan Keamanan DPP Partai Golkar ini.

Meski begitu, Natsir tak se­pen­dapat bahwa Golkar tak bergerak dan belum melakukan kon­so­li­dasi untuk menghadapi Pemilu 2009. “Yang namanya organisasi apa­lagi Golkar yang umurnya su­dah matang dan organisasinya su­dah solid, dinamika dalam par­tai golkar ini bergerak setiap hari. Ada yang mengkritik, ada yang senang dan tidak. Hal itu wa­jar lah. Yang pasti masih un­tung yang mengkritik adalah ka­der muda Golkar sendiri,” ujar­nya.

Natsir berharap DPP mem­per­ha­ti­kan kegelisahan yang disam­paikan kalangan muda Par­tai Gol­kar. Me­nurut dia, Partai Gol­kar ke depan adalah milik orang muda. rm


kirim ke teman print


Baca juga:


Ada 1 komentar tentang berita ini :

'2009 Kuburan bagi Golkar' ???
Rabu, 27 Juni 2007, 07:56:43 WIB
Komentator: sugeng
Saya adalah orang non partai, karena sudah sejak lama yg namanya partai itu sama saja. Partai apapun namanya, 'politik Kekuasaan' itu yg ada didalam benak masing2 anggotanya, dengan dibumbui 'demi rakyat banyak, dsb, dsb. Namun saya tertarik dengan Golakar Pradigma Baru setelah Orde Baru tumbang dan berganti dg era Reformasi, dimana kita mengharapkan pembaharuan yg radikal, khusus mengenai pemberantasan Korupsi!!!, Golkar harus menjadi contoh soal, dan pelopornya, karena paradigma lama sufah berakhir. Ingat jaman Orba kalau di kalangan pegawai negetri ada pemeo 'kalau dapat dipersulit, kenapa dipermudah?', nah paradigma ini yg selalu berkaitan dg KKN kan dulu ada grup A\\'ABG'., jadi saling mem-back up. Bung Kamarussamad (Waka Sekjen AMPI) benar adanya, dia mengkritisi para Bosnya di Golkar. Disaat rakyat menderita itulah Golkar seharusnya berinisiatif mengangkat dari penderitaan, sepert harga Migor yg mahal, korban Lapindo yg berkepanjangan, dsb, dsb. Yah, semoga Golkar merubah pradigmanya. Semoga tahun depanya 2009 bukan 'kuburan' bagi Golkar, namun tempat bersemainya para pimpinan yang JUJUR dan ADIL. Selamat.
Keterlaluan, Yuddi Chrisnandi Akan Dievaluasi Slipi
Senin, 11 Juni 2007, 16:02:12 WIB

Laporan: M Hendry Ginting


Jakarta, Rakyat Merdeka. Sepak terjang politisi muda Partai Golkar Yuddi Chrisnandi di DPR akhir-akhir ini sepertinya sudah menimbulkan kegerahan bagi para koleganya sendiri. Atas rekomendasi fraksi, DPP Partai Golkar harus mengevaluasinya.

Menurut Wakil Sekretaris Bidang Polkam DPP Partai Golkar Idrus Marham kepada Situs Berita Rakyat Merdeka mengakui bahwa F-PG sudah melayangkan surat ke DPP di Jalan Anggrek Neli, Slipi, Jakarta Barat agar segera mengevaluasi kinerja Yuddi Chisnandi.

“Dari F-PG surat sudah dikirim ke DPP beberapa hari lalu tentang perkembangan anggota di fraksi yang dinilai sudah melewati batas-batas kebijakan dari partai,” papar Idrus Marham di gedung DPR, Senayan, Senin siang ini (10/6).

Yuddi yang juga anggota Komisi I selama ini dikenal cukup lantang menyangkut isu-isu sensitif di DPR. Sebagai interpelator Iran, ia sangat ngotot agar Presiden SBY harus datang ke DPR untuk menjelaskan duduk persoalan masalah dukungan RI atas Resolusi DK-PBB 1747.

“DPP harus segera mengevaluasi sepak terjang Yuddi yang tidak konsisten karena dianggap keluar dari kebijakan DPP tentang kehadiran Presiden SBY di DPR terkait interpelasi. Itu bisa dikatakan sebagai pelanggaran,” tegas Idrus Marham, bekas Ketua KNPI ini.

Ternyata, politisi asal Makassar itu, pandangan Yuddi tentang interpelasi tidak sesuai dengan pandangan fraksi yang merupakan kepanjangtanganan dari partai. “Sebagai anggota F-PG, Yuddi harusnya tunduk. Ini semata-mata untuk penertiban dan komitmen dalam menegakan aturan main saja di internal fraksi dan partai,” tandas Idrus.

Sikap yang berlebihan dan cenderung keterlaluan itu, sebut Idrus, DPP Partai Golkar harus berpikir ulang terhadap posisi Yuddi di DPR saat ini. “Dia sudah keterlaluan. 99 persen DPP harus rapat menyikapi surat dari fraksi,” tukasnya. iga
Surya Paloh Akan Dievaluasi Sebagai Penasihat Golkar
Rabu, 27 Juni 2007, 10:05:52 WIB

Laporan: Zul Sikumbang


Jakarta, Rakyat Merdeka. Ketua DPR Agung Laksono menilai, sebagai Ketua Dewan Penasihat Partai (DPP) Golkar, Surya Paloh telah melanggar fungsinya karena telah melakukan silahturahmi dengan Ketua Pertimbangan Partai PDI Perjuangan, Taufik Kiemas di Medan beberapa waktu lalu.

Oleh karena itu, dalam rapat pleno Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar akan melakukan evaluasi terhadap pertemuan tersebut. Demikian disampaikan oleh Agung di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (26/6).

"Kalau dilihat dari fungsinya, sudah menyalahi aturan karena pertemuan di Medan sifatnya adalah operasional dan melibatkan unsur Dewan Pimpinan Pusat, DPD dan pimpinan Golkar tingkat kecamatan," kata Agung dengan nada kecewa.

Pertemuan yang dibungkus dengan silahturahmi itu bukan sikap resmi Partai Golkar, apalagi pertemuan itu menghasilkan suatu keputusan untuk berkoalisi dengan PDI Perjuangan.

"Kalau sampai menghasilkan suatu kesepakatan, itu bukan domainnya Dewan Penasehat Partai. Dewan Penasehat Partai hanya memberikan masukan, didengar atau tidak didengar," tambah Wakil Ketua Umum Golkar ini.

Ketika ditanya adanya rumor untuk mengelar Musyawarah Nasional terkait dengan Silahturahmi tersebut, Agung menyatakan, sampai sejauh ini tidak ada rencana dari DPP untuk mengelar Munas.

"Saya tidak tahu, kalaupun ada rumor untuk mengelar Munas, itu hanya keinginan sendiri, bukan institusi. Sebab Munas di Bali sudah diputuskan bahwa Golkar adalah partai pendukung pemerintah dan harus hati-hati dalam reposisi dengan pemerinta," jelas Agung.

Sedangkan sanksi yang bakal diterima oleh Surya Paloh dengan perbuatannya, Agung hanya menyatakan, Dewan Pimpinan Pusat telah melakukan evaluasi terhadap haul (pertemuan) tersebut.

"DPP telah melakukan rapat pleno, evaluasi acara tersebut menjadi hasil rapat," jelasnya. iga
Kader Golkar Waswas Kena Sanksi
Kamis, 28 Juni 2007, 07:24:07 WIB

Pertemuan Medan, Ide Brilian Tapi Salah Orang

Jakarta, Rakyat Merdeka. Rencana DPP Par­tai Golkar yang akan menge­va­lu­asi Ketua Dewan Penasihat Sur­ya Paloh karena melakukan per­temuan dengan Taufik Kie­mas di Medan beberapa waktu lalu, telah membuat waswas se­jum­lah kader partai beringin yang ikut hadir dalam pertemuan itu.

Bila ternyata pertemuan Medan itu dianggap ilegal, karena tanpa lewat keputusan DPP, nama pengurus Golkar yang ikut hadir dalam pertemuan itu bisa dikenai sanksi.

Selain Paloh, pertemuan Me­dan itu juga dihadiri sejumlah pengurus DPD Partai Golkar. Na­ma Ketua DPD Lampung Alzier Dianis Thabranie pun di­kabarkan sebut hadir dalam per­temuan itu. Bahkan dia, disebut-sebut sebagai motor pertemuan itu.

“Saya sudah jelaskan, posisi sa­ya tidak ikutan dalam acara ter­sebut. Ke Medan saja, nggak. Me­mang bertebaran sms gelap. Semuanya sudah saya laporkan kepada ketum dan wakil ketum. Yang jelas, kami ikuti aturan partai,” tandas Alzier.

Ia mengatakan bahwa garis Par­tai Golkar sudah tegas dan je­las yakni sebagai menjadi partai pendukung pemerintah. Sejauh ini, pertemuan petinggi Golkar dan PDIP di Medan, memang bukan atas inisiatif DPP. “Saya sendiri heran, kenapa nama saya dibawa-bawa. Tetapi sudah saya jelaskan semuanya. Kita tunduk dan taat terhadap keputusan par­tai,” tukasnya.

Alzier mengkhawatirkan ada­nya pihak-pihak yang ingin mengo­bok-obok internal Partai Gol­kar, dengan meniupkan fit­nah-fitnah keji mengenai per­te­muan Medan itu. Sejauh ini, kata dia, DPD Lam­pung tunduk ter­ha­dap garis kepemimpinan Jusuf Kalla.

Fungsionaris Partai Golkar An­ton Lesiangi menegaskan, Surya Pa­loh sebagai pejabat fung­sio­nal, tidak memiliki wewenang da­lam mengambil suatu ke­pu­tusan partai yang bersifat stra­tegis.

“Meski demikian, gagasan Sur­ya Paloh, sangatlah brilian. Dia layak disebut The Hero bagi Golkar. Sayangnya, ekse­ku­tor­nya salah. Seharusnya di­pu­tus­kan oleh pejabat struktural dalam hal ini ketum atau wakil ketum,” paparnya.

Anton menjelaskan, keki­sru­han pascapertemuan Medan ini seharusnya tak tidak perlu terjadi apa­bila Ketua OKK Partai Gol­kar Syamsul Muarif mem­be­ri­kan penjelasan kepada Surya Pa­loh mengenai jabatan ketua De­wan Penasihat yang disan­dang­nya. Ketua Dewan Penasihat, je­las dia, bersifat fungsional. Tu­gas­nya memberikan gagasan atau pertimbangan, saran dan nasihat kepada DPP. Selanjutnya DPP yang menindaklanjuti.

Anehnya, ucap Anton, Ketua OKK justru mendiamkan tin­da­kan Surya Paloh. Dalam hal ini, Surya Paloh tidak bisa disa­lah­kan. “Saya yakin, ketua OKK ta­h­u aturan partai. Dulu memang per­nah dilakukan Akbar Tan­djung (saat menggalang Koalisi Ke­bangsaan dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soe­kar­no­putri). Tetapi ingat, saat itu Akbar sebagai pejabat struktural. Dia kan Ketum Golkar,” je­lasnya.

Menurutnya, arah pertemuan Me­dan sifatnya sangatlah stra­te­gis. Karena membicarakan pe­luang aliansi menghadapi Pe­mi­lu 2009. Apalagi tidak ada ja­mi­nan bahwa Golkar pada 2009 akan tetap mengusung duet SBY-JK. “Kalau Golkar menang lagi, tentunya akan mengajukan ca­pres dong. Orang nomor satu bukan dua. Saya sendiri kagum deng­an ide Surya Paloh. Bahwa 2009 harus kami rebut kekua­saan. Tetapi tujuannya untuk me­nsejahterakan rakyat, bukan untuk bagi-bagi kekuaaan se­ma­ta,” paparnya.

Ke depan, lanjutnya, petinggi Partai Golkar harus memutuskan masalah ini. Artinya, gagasan yang dikemukakan Ketua De­wan Penasihat tentang aliansi stra­te­gis dengan PDIP perlu diper­tim­bangkan ditindaklanjuti atau tidak. “Disini butuh sikap ne­ga­rawan dan kearifan dari ke­tum. Jangan sampai me­nim­bul­kan masalah baru,” paparnya. rm
Golkar Tantang Pakai Sistem Distrik
Minggu, 01 Juli 2007, 12:05:20 WIB


Jakarta, Rakyat Merdeka. Oleh kalangan "partai menengah", gagasan Presiden SBY menghapus sistem nomor urut dan menerapkan sistem suara terbanyak pada pemilu legislatif 2009 dipandang sebagai ide progresif. Namun, bagi parpol besar seperti Partai Golkar, gagasan itu dianggap bisa mendegradasi sistem kepemimpinan partai, mulai pusat hingga daerah.

Menurut Ketua Fraksi Golkar DPR Priyo Budi Santoso, paket RUU Politik untuk Pemilu 2009 hendaknya tetap menggunakan sistem proporsional terbuka terbatas. "Sebab, itu (gagasan SBY, Red) bisa membahayakan kaderisasi partai," katanya dalam acara silaturahmi 10 pimpinan fraksi DPR di kawasan Senayan, Jaksel, kemarin.

Dalam pertemuan tersebut, hadir pula Jhony Allen Marbun dari Fraksi Partai Demokrat, Jamaludin Karim dari Fraksi BPD, Ketua Fraksi PDS Pastor Saut Hasibuan, Ketua Fraksi PPP Lukman Hakim Saifuddin, Ketua FKB Effendy Choirie, Yuddy Chrisnandy dan Aziz Syamsudin dari FPG, serta Fachry Hamzah dari FPKS.

Jika kembali pada sistem proporsional terbuka terbatas, ujar Priyo, seorang calon anggota legislatif (caleg) akan lolos menjadi anggota dewan jika bisa melalui bilangan pembagi pemilih (BPP) 25 persen. Jika tidak lolos, lanjut Priyo, otoritas penentuan "caleg jadi" diberikan kepada masing-masing partai sesuai nomor urut yang telah ditentukan.

Jika dalam pembahasan paket RUU Politik itu pemerintah ngotot minta penerapan sistem suara terbanyak, Partai Golkar akan mengajukan sistem distrik. "Kalau mau sakti-saktian, ayo buktikan sekalian. Kami akan ajukan sistem distrik kalau pemerintah tetap minta penghapusan sistem nomor urut," kata wakil ketua Komisi II DPR itu.

Karena kekuatan politiknya mapan, Partai Golkar bersedia diajak bertempur di segala medan. Terkait dengan usul penggunaan parliamentary threshold (PT), Priyo mengakui partainya selalu siap. "Silakan saja mau pasang PT satu persen. Yang pasti, Partai Golkar tidak akan menindas partai baru," katanya. Karena itu, lanjut dia, semua sistem kepemiluan harus dipertimbangkan secara matang demi sehatnya demokrasi.

Ketua Fraksi PPP Lukman Hakim Saifuddin menyatakan cenderung mempertahankan penggunaan electoral threshold (ET) tiga persen. Yakni, persyaratan standar bagi partai politik untuk bisa mengikuti pemilu. "Tiga persen ET itu sudah logis," katanya kemarin. Kalaupun mau menggunakan parliamentary threshold, PPP berani memasang angka dua persen.

"Tapi, penggunaan PT itu bisa membahayakan partai-partai baru," katanya. Terkait dengan formasi daerah pemilihan (dapil), PPP menginginkan untuk tetap menggunakan sistem dapil seperti yang dipakai pada Pemilu 2004. Menurut Lukman, pembahasan paket RUU Politik itu hendaknya tidak diubah jika tidak diperlukan. "Ini kan hanya revisi, bukan membuat UU baru. Jadi, kalau tak perlu diubah, ya jangan diubah," ujarnya.

Menanggapi tantangan Partai Golkar untuk memasang sistem distrik, Ketua Fraksi PAN Zulkiefli Hasan mengaku siap. "Kalau menggunakan distrik murni, kami siap," tegasnya. jpnn