Oleh Eki Syachrudin PERTENGAHAN 1997, saat Orde Baru dijepit aneka kekuatan reformasi, saat itu Golkar mampu bertahan berkat strategi "menyerang untuk bertahan". Beberapa pimpinan DPP Golkar seperti Fahmi Idris dan Marzuki Darusman mencanangkan Golkar sebagai partai oposisi, terhadap semua elemen yang menghujatnya. Pemikiran ini lalu menjadi sikap partai, dengan slogan "Golkar Baru". Namun huruf "r" dari kata baru, diplesetkan penyebutannya sebagai "bau". Meski demikian, mereka tak peduli dan dengan nyaring tetap menyebut diri sebagai Golkar Baru. Dengan sepak terjang sebagai partai oposisi itulah Golkar mempunyai semangat tinggi, bagai "banteng-ketaton" menghadang segala serangan yang ditujukan kepadanya. Meski banyak kantor DPD tingkat I dan II yang hancur, namun jiwa mereka tidak kendur. Hasilnya menakjubkan. Pada pemilu DPR pertama Golkar sebagai runner-up dan pemilu berikut meraih kursi terbesar, mengalahkan perolehan PDI-P. Kemudian muncul soal yang agak musykil, opsi pilihan duet MM (Mega-Muzadi) atau duet YJ (Yudhoyono-Jusuf). DPP memilih duet MM. Banyak yang terperangah, sebab hubungan PDI-P dan NU di satu pihak dengan Golkar di sisi lain boleh dikatakan kurang produktif sepanjang awal era reformasi. Fahmi dan kawan-kawan berpendapat, pilihan pada SBY-JK dianggap lebih cocok sebab sebagai mantan jalur A, SBY dan Jusuf -Kalla yang keluarga sendiri, platform Golkar tentu jauh lebih cocok, ketimbang dengan Mega-Muzadi. Tetapi DPP lebih berpikir dalam jargon real-politics sebab duet MM lebih mungkin keluar sebagai pemenang. Bagi DPP, buat apa berkoalisi dengan teman sendiri tetapi kalah. Fahmi cs, menganggap DPP lebih condong kepada kekuasaan ketimbang pada nilai.-nilai. Bagi Fahmi cs kalah bukan akhir dari perjuangan, sebab partai bisa memilih peran sebagai kekuatan oposisi, seandainya duet SBY-JK kalah. Hasrat Fahmi Idris dan Marzuki yang menghendaki peran oposisi dalam kehidupan politik, tak kesampaian, sebab ternyata duet SBY-JK menang. Sebaliknya hasrat DPP untuk turut dalam kekuasaan juga tidak kesampaian, sebab duet MM kalah. Semuanya bagai "balik-bakul". Mungkinkah Akbar menjadi bagian kekuatan oposisi? DENGAN relasi-relasi politik mutakhirnya, dibanding calon-calon ketua yang lain, Akbar merupakan orang yang paling siap melakukan oposisi. Sementara itu perpolitikan nasional kita memerlukan peran itu. Tetapi akan timbul pertanyaan, wajarkah Golkar beroposisi kepada pemerintahan yang Wapres dan beberapa Menterinya dari Golkar ? Ataukah Golkar lebih wajar menjadi bagian pemerintahan. Bagaimana peran oposisi yang amat diperlukan setiap sistem politik yang demokratis ? Fungsi oposisi dalam perjalanan sejarah masih belum mapan. Pada era Demokrasi Liberal (1945-1957-an), oposisi dilakukan berlebihan. Sebaliknya pada era Demokrasi Terpimpin (1958-an-1966) dan Demokrasi Pancasila (1967- 1997an), oposisi dianggap sebagai barang haram, akibatnya pemikiran politik bangsa pada dua kurun waktu itu boleh dikata steril dan totalitarian. Ketika kebanyakan negara dunia ketiga masih mencari-cari bentuk demokrasi, di belahan bumi lain (Barat), oposisi merupakan suatu tradisi yang mapan dalam demokrasi mereka. Di sana oposisi diperlukan agar partai yang berkuasa tidak tergelincir pada kesalahan berkelanjutan dan bila suatu pemerintahan tidak cakap, pada pemilu berikutnya mereka bisa diganti secara damai. Rakyat memerlukan proses oposisi yang direlay secara transparan dan luas oleh media massa, dengan demikian masyarakat bisa mendapat politik. Oleh pengetahuannya itu rakyat bisa menjatuhkan pilihan kepada partai yang dianggapnya lebih jujur dan lebih mampu. Budaya perpolitikan berdasar semangat ke-oposisi-an ini tak berlaku di sebagian besar negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Di kedua kawasan ini pemerintahan dijalankan secara "gotong-royong" di bawah pimpinan seorang "bapak" bangsa. Harapannya negeri bisa stabil, menjadi adil, dan makmur. Ironisnya justru di negeri-negeri tanpa oposisi itu keadaanya kurang stabil, kurang adil dan secara umum tidak makmur. Sementara negeri-negeri Barat yang melakukan oposisi, keadaannya relatif lebih stabil, lebih adil, jauh lebih makmur. Akankah Indonesia mulai melaksanakan kaidah politik beroposisi agar negeri bisa lebih stabil dan lebih makmur? Saya kira masyarakat politik (partai, pemerintah, legislatif, yudikatif, aparat keamanan, tentara, polisi, perguruan tinggipun), masih belum sreg tentang perlu tidaknya konsep oposisi. Mengapa? Jawabnya, mungkin, akibat buruknya citra istilah oposisi sepanjang Orde Lama dan Orde Baru yang hampir 40 tahun itu. Padahal sebelum kemerdekaan, kata oposisi hampir merupakan konsekuensi perjuangan melawan penjajahan. Bentuk oposisi kaum kebangsaan (Soekarno-Hatta) diwujudkan melalui kosa kata "non-koperasi", sementara kaum santri (Kyai Wasid Cilegon dan Kyai Mustofa Garut) mewujudkannya dalam aneka bentuk yang disebut "jihad", sedangkan kaum komunis (Alimin-Dharsono) mewujudkannya dalam istilah "revolusi"(tahun 1927 di Menes dan Silungkang). Saat itu oposisi dilihat dari kacamata kaidah berpikir dianggap benar bahkan keharusan jika dihubungkan dengan konsep Indonesia merdeka. Ketika Indonesia sudah merdeka, untuk apa ada oposisi? Namun data empirik mengatakan, negara-negara yang tidak memberlakukan chek and balances melalui fungsi-fungsi partai oposisi yang proporsionil, negeri-negeri itu (Afrika dan Timur Tengah), menjadi tidak stabil, tidak aman, tidak adil dan kemakmurannya tidak merata. OLEH dunia pertama, setidaknya oleh Kanada, Indonesia dianggap sudah kompatibel dengan sistem demokrasi, meski mayoritas penduduknya beragama Islam (maksudnya berbeda dengan kebanyakan negeri muslim lain). Mana ada demokrasi (di Barat) tanpa ada partai oposisi? Apakah pemerintah kita tidak khawatir? Saya kira tak perlu khawatir, apalagi takut, sebab bila ada partai yg melakukan oposisi kepada gebrakan antikorupsi yang dilancarkan pemerintahan SBY, mereka bisa dianggap sebagai pembela kaum koruptor, dan bila begitu pasti merugikan kedudukan mereka dalam pemilu mendatang. Tetapi jika mendukungnya, bukankah itu berarti akan memperkuat pemerintah di mata rakyat? Karena itu selama pemerintah benar, tak ada alasan untuk khawatir terhadap kaum oposisi. Bila Indonesia mampu melaksanakannya, posisi Indonesia dalam percaturan internasional akan lebih baik lagi. Di Kanada oposisi bukan berarti gangguan kepada kursi kekuasaan, sebab setiap kuasa ada batas waktunya (empat tahun). Oposisi sebagai sikap politik dilakukan oleh partai yang kalah agar tidak ketinggalan dalam memberantas yang "mungkar" atau untuk menegakkan yang "makruf", sebagai jembatan untuk menang dalam pemilu berikut. Saya pikir beroposisi dalam pengertian menolak opsi yang salah dan mendukung konsep-konsep pemerintah bila benar, merupakan kebutuhan semua pihak. Akankah Golkar menjadi bagian Pemerintahan SBY-JK yang sedang menghantam korupsi, atau menjadi oposisi konstruktif, di mana sesekali mengkritik pemerintah jika ada hal-hal yang keliru? Jawabannya terpulang pada pembahasan di Munas sekarang. Selamat bermunas. Eki Syachrudin Mantan Dubes Kanada |
Rabu, 18 Juli 2007
Golkar Sebagai Partai Oposisi, Mungkinkah?
Konglomerasi Politik
Oleh Sukardi Rinakit
AMIEN Rais benar. Majunya Jusuf Kalla ke bursa Calon Ketua Umum Partai Golkar, jika terpilih, akan menjadi lonceng kematian demokrasi. Hal itu terkait dengan terjadinya komplikasi karena menyatunya tiga sumber daya politik pada diri Jusuf Kalla, kekuasaan, bisnis, dan partai politik (Kompas, 16/12/2004).
Secara lateral, majunya Jusuf Kalla merefleksikan logika pengusaha yang selalu ingin menguasai sektor industri dari hulu sampai hilir. Dalam ranah politik, fenomena demikian, sebut saja sebagai konglomerasi politik. Partai besar dikuasai, parlemen dijadikan tukang stempel, kebijakan pemerintah dikontrol, dan suksesi kepemimpinan nasional digenggam erat selama mungkin. Masyarakat Indonesia harus waspada karena ada peringatan Lord Acton yang tetap relevan: Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.
Argumen itu bukan dimaksudkan untuk mendelegitimasi Jusuf Kalla. Kritik harus tetap diberikan kepada siapa pun yang sedang berlaga memperebutkan atau mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan napas demokrasi. Alasan Jusuf Kalla maju, karena diminta DPD-DPD, tidak bisa diterima begitu saja. Setiap dukungan tidak harus disetujui apalagi jika hal itu bertentangan dengan salah satu nilai demokrasi, yaitu pembagian kerja.
Posisi sebagai wakil presiden sudah cukup sibuk dan menuntut tanggung jawab moral besar. Apalagi jika diingat, pasangan presiden-wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat. Mengapa masih mengejar posisi ketua umum partai? Mengapa tidak mengejar penyebab seorang ibu yang terpaksa bunuh diri karena frustrasi tidak bisa membawa anaknya ke dokter? Mengapa tidak mengejar pelaku pembunuhan Munir? Padahal dua kasus itu adalah cermin bening dari masih dalamnya lorong kemiskinan dan luasnya ketidakadilan di republik ini.
JIKA saya seorang jenderal atau pengusaha, umur setengah abad lebih, anak- anak sudah mandiri dan kini saya menjadi presiden atau wakil presiden, maka tidak ada yang saya takuti kecuali rakyat dan Tuhan. Kalaupun saya akhirnya "di-Munirkan" (dibunuh) oleh kelompok tertentu karena memperjuangkan demokrasi, kesejahteraan, dan hak rakyat, sebagai seorang pemimpin, setidaknya saya meninggalkan catatan yang bisa menjadi pelajaran bagi anak bangsa di masa depan.
Dengan demikian, terasa aneh jika perburuan posisi ketua partai politik, seperti kasus Jusuf Kalla, masih menjadi prioritas. Hal itu tentu memicu perdebatan di seputar alasan Jusuf Kalla untuk tetap maju di Munas Partai Golkar.
Alasan pertama berkait upaya memperlemah kekuatan oposisi. Rencana pemerintah menaikkan harga BBM dan aneka kebijakan yang kurang populer lain mulai tahun depan, diperkirakan akan ditentang Koalisi Kebangsaan. Dalam konteks ini, pamor Koalisi Kebangsaan akan naik. Sebaliknya, kewibawaan pemerintah bisa merosot. Ada kesan, pemerintah mengalami ketakutan berlebihan sehingga untuk mengurangi degradasi citra dan kewibawaan pemerintah di mata rakyat, Partai Golkar harus direbut. Dengan demikian, Koalisi Kebangsaan akan pecah, tinggal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang akan menggempur pemerintah.
Alasan kedua berkait target politik Jusuf Kalla untuk menjadi kandidat presiden 2009. Jika menjadi Ketua Umum Partai Golkar, hampir otomatis akan dicalonkan sebagai kandidat presiden pada Pemilu 2009, maka posisi ketua umum menjadi strategis diperebutkan. Terlebih karena Golkar adalah partai terbesar.
Alasan terakhir adalah persoalan peningkatan posisi tawar Jusuf Kalla terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan menguasai Golkar, posisi tawar Jusuf Kalla akan kuat. Bahkan tidak tertutup kemungkinan dia akan menjalankan peran sebagai kepala pemerintahan, sementara Susilo Bambang Yudhoyono menjadi kepala negara. Dengan istilah lain, roda pemerintahan dan pengambilan keputusan ada dalam rentang kendali Jusuf Kalla.
Tetapi laiknya praktik konglomerasi, ketidakefisienan menjadi masalah utama. Karena itu jika Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Umum Golkar, fenomena konglomerasi politik pasti akan membunuh proses check and balance antara parlemen dan pemerintah. Mayoritas suara parlemen akan menjadi suara pemerintah, monolit, dan akhirnya dilipat memasuki alam otoriterianisme. Pendeknya, lampu demokrasi akan meredup dan kita kembali ke alam politik Orde Baru. Bagi Jusuf Kalla mungkin bakal berlaku pepatah Jawa: Menang ora kondang, yen kalah ngisin-ngisini, ’Menang tidak jadi terkenal, kalau kalah memalukan!’
NAMUN, politik sering tidak berjalan linear. Bisa jadi karena Jusuf Kalla maju menjadi kandidat, konfigurasi politik tiba-tiba berubah. Seorang demokrat seperti Marwah Daud, tidak tertutup kemungkinan akan mengambil sikap netral. Dia risih melihat seorang wakil presiden yang masih mengejar posisi ketua umum partai politik. Dengan netralitas demikian, terbuka peluang bagi kubu Akbar Tandjung untuk mendekati pendukung Marwah. Padahal sosok seperti Marwah sebenarnya patut ditengok untuk memimpin Golkar agar partai itu mempunyai napas baru.
Sama dengan kubu Marwah, sayap Wiranto juga mulai ragu dengan fenomena konglomerasi politik Jusuf Kalla. Jika Wiranto akhirnya mendukung Akbar Tandjung, misalnya, tidak tertutup kemungkinan Akbar akan menang dalam pertempuran melawan Jusuf Kalla. Dukungan DPD II yang masih banyak dipimpin eks TNI merupakan peluang bagi Akbar. Selain itu, memberikan hak pada DPD II untuk ikut memilih juga merupakan kampanye tersendiri bagi kubu Akbar. Tidak tertutup kemungkinan Akbar justru bisa menarik keuntungan dari situasi ini karena sebagian DPD II akhirnya menjadi simpati kepadanya.
Kemungkinan lain dari pergerakan politik yang tidak linear adalah sikap politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Jika Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Umum Golkar, misalnya, tidak tertutup kemungkinan PKS dan PAN akan mundur dari arena Koalisi Kerakyatan dan mengibarkan bendera oposisi. Fenomena konglomerasi politik tentu tidak akan mengenakkan mereka karena bertentangan dengan napas demokrasi. Jika hal itu terjadi, konfigurasi politik yang berlaku kini akan berubah dengan PKS, PAN, PDI-P, dan PKB menjadi spoiler (oposan) terhadap hegemon (pemerintah). Sebaliknya, Partai Demokrat dan Golkar akan menjadi supporter dari kekuasaan. Tetapi memprediksi politik Indonesia memang tidak mudah. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Sukardi Rinakit Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate
Minggu, 15 Juli 2007
Selasa, 03 Juli 2007, 15:58:01 WIB
Laporan: M Hendry Ginting
Kritik itu berhamburan, karena wakil presiden itu merestui Surya Paloh menggelar pertemuan, untuk membentuk koalisi Partai Golkar dengan PDI Perjuangan di Medan, serta mengadakan pertemuan dengan Sultan Hamengku Buwono di Jogjakarta beberapa waktu lalu.
Salah satu kritik tersebut keluar dari Ketua Bidang Kepemudaan Partai Golkar, Idrus Marham, dalam diskusi bulanan konsolidasi pembaharuan Partai Golkar, bertema “Ada Apa dengan Partai Golkar?”, di Jakarta siang tadi (Selasa, 3/7).
Dia mengatakan, jika Golkar mau tetap eksis, maka Golkar harus kembali kepada jati dirinya, dengan jalan kekaryaan seperti dulu. Dengan demikian, lanjutnya, calon pemimpin Golkar ke depan adalah orang yang berkarya dan berkomitmen kepada Golkar, bukan pengusaha seperti Jusuf Kalla. “Tidak ujuk-ujuk datang dan menjadi pemimpin Golkar karena memiliki uang yang banyak,” tukasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Partai Golkar, Zainal Bintang mengatakan, dari segi sumber daya manusia (SDM) Partai Golkar memiliki banyak orang, yang memiliki kredibelitas yang tinggi.
Namun dalam perjalanannya, tambah Zainal, ada anomali antara kepemimpinan saat ini dengan kalangan muda Partai Golkar. Untuk menyakini anomali ini, lanjutnya, Partai Golkar harus mengadakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) secepatnya. “Di dalam Partai Golkar Munaslub tidak diharamkan, asalkan memenuhi persyaratan,” ujarnya.
Selain untuk menyakini anomali, sambung Zainal, Munaslub juga berguna untuk mengukur kembali legitimasi kepemimpinan Jusuf Kalla. “Yang kedua untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan yang ada di dalam Golkar,” tandasnya. atm
Selasa, 03 Juli 2007, 15:22:07 WIB
Laporan: Sugihono
Hal tersebut dinyatakan Ketua Bidang Ketenagakerjaan Partai Golkar, Zainal Bintang dalam diskusi bulanan konsolidasi pembaharuan Partai Golkar, bertema “Ada Apa dengan Partai Golkar?”, di Jakarta siang ini (Selasa, 3/7).
Zainal menilai, pertemuan di Medan itu merupakan petualangan politk Surya Paloh. Menurut dia, meskipun Surya Paloh sudah berbicara langsung dengan Jusuf Kalla (JK), untuk mengadakan pertemuan tersebut, tapi Surya Paloh tidak memiliki kewenangan untuk melakukan sebuah pertemuan, apalagi pertemuan itu memutuskan pembentukan koalisi dengan PDI Perjuangan, dalam menghadapi pemilu dan pilpres 2009.
Hal itu, lanjutnya, dikarenakan bentuk kepemimpinan di Partai Golkar yang menggunakan sistem kepemimpinan kolektif. Atinya, sambung Zainal, segala keputusan strategis seperti keputusan membentuk koalisi tersebut, harus diputuskan dalam rapat pleno. “Dan saya, sebagai salah satu anggota rapat pleno itu tidak pernah diajak bicara. Begitu pula dengan anggota yang lain,” ujarnya.
Zainal menegaskan, pertemuan di Medan itu tak ubahnya makar politik seperti yang dilakukan Jusuf Kalla, saat menggelar rapat konsultasi Partai Golkar dengan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono, di Jogja.
Apalagi, imbuhnya, Jusuf Kalla (JK) memberi restu politik kepada Surya Paloh, untuk mengadakan pertemuan dan koalisi itu. “JK bukanlah CEO Partai Golkar. Dia hanyalah CEO PT Bukaka,” tandasnya. atm
Sabtu, 14 Juli 2007
Sungkan SBY, Kencan PDIP-Golkar Berakhir di Palembang
Muhammad Nur Hayid - detikcom
Jakarta - Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla yang mengharapkan pertemuan di Palembang dijadikan pertemuan terakhir antara PDIP-Golkar dinilai wajar. Sebagai partai pendukung pemerintah, Golkar sungkan kepada Presiden SBY.
"Wajar saja kalau JK atau Golkar sebagai partai pemerintah segan dan sungkan dengan SBY karena sering dengan partai oposisi," ujar Ketua FPDIP, Tjahjo Kumolo kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (6/7/2007).
Menurut Tjahjo, Pertemuan Medan-Palembang merupakan komitmen PDIP-Golkar untuk keutuhan NKRI.
"Prinsipnya, pertemuan Medan-Palembang secara terbuka menunjukkan PDIP dan GOlkar merupakan partai yang komitmen terhadap NKRI dan Pancasila serta kemajemukan bangsa," kata Tjahjo.
Bagi Tjahjo, tidak masalah jika setelah pertemuan di Palembang dihentikan begitu saja.
"Bagi PDIP yang penting kualitas, bukan kuantitas pertemuan," kata dia.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPP Golkar Agung Laksono menyatakan, pasca pertemuan Palembang akan dievaluasi kembali apakah cukup di Palembang saja atau di teruskan. Keputusan ini diambil dalam rapat DPP yang juga dihadiri oleh JK. (anw/ana)
Ken Yunita - detikcom
Jakarta - Usulan musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar yang digelindingkan kader Golkar dibantah oleh Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla. Usulan ini dinilai sebagai pendapat pribadi saja.
"Itu kan cuma pendapat anak-anak saja," kata Kalla dalam jumpa pers di Istana Wapres, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Jumat (6/7/2007).
Selain membantah rencana Munaslub itu, Kalla mengatakan, Munaslub ini tidak mudah pelaksanaannya dan harus seizin dirinya. "Oh itu Munaslub. Ah nggak ada itu dan itu tidak mudah," ujarnya.
Ketua Bidang Tenaga Kerja DPP Golkar, Zaenal Bintang, pernah mengklaim usulan Munaslub diusung 17 DPD. Alasan mengusung Munaslub karena Kalla cs dinilai membuat kebijakan yang inkonstitusional.
Zaenal bahkan menyebut Ketua Dewan Pembina DPP Golkar, Surya Paloh, sebagai figur yang bisa memimpin partai berlambang pohon beringin ini. (mly/nrl)
Senin, 04 Juni 2007, 06:18:15 WIB
Sultan Hamengku Buwono X diminta untuk turun tangan menyelamatkan Partai Golkar yang terancam perolehan suaranya anjlok pada Pemilu 2009.
KETUA Kaukus Muda Partai Golkar, Kamrussamad menilai di bawah kepemimpinan Jusuf Kalla, partai beringin ini semakin sulit melakukan konsolidasi internal. Padahal, pemilu tinggal sebentar lagi.
Kesibukan sebagai Wakil Presiden, menurut Kamrussamad, tak memungkinkan bagi Kalla untuk melakukan konsolidasi partai sampai ke tingkat yang terendah. “Seharusnya pimpinan partai tahun 2007 ini sudah berada di pelosok-pelosok desa untuk melakukan konsolidasi. Tapi malah sibuk mengadakan P2KB (Pendidikan Politik Kader Bangsa),” ujarnya.
Menurut penggagas acara Rembug Nasional Partai Golkar ini, kegiatan P2KB itu jauh dari kebutuhan rakyat. Seharusnya, kata dia, Partai Golkar ikut berperan dalam mengatasi harga minyak goreng yang terus meroket dan tak terjangkau rakyat kecil.
“Padahal, Indonesia adalah penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Golkar kembalilah ke pangkuan rakyat. Jika tidak, kuburan sudah disiapkan pada Pemilu 2009. Penyelamatan Partai Golkar juga akan dilakukan lewat Rembug Nasional dalam waktu dekat ini,” jelas Kamrussamad yang juga wakil sekjen DPP Angkatan Muda Pembaruan Indonesia (AMPI) ini.
Melihat kondisi seperti ini, Kamrussamad meminta Sultan Hamengku Buwono X yang juga anggota Dewan Penasihat dan panutan partai turun tangan menyelamatkan Golkar. “Bila dibiarkan suara Golkar bisa anjlok pada 2009,” tandasnya.
Menanggapi hal itu, fungsionaris Partai Golkar Natsir Mansur tak mempermasalahkan kegelisahan yang disampaikan Kaukus Muda Partai Golkar itu. “Orang muda memang harus kreatif, kritikus. Itulah sifat orang muda. Apa yang dikatakan Kamrusamad itu, sah-sah saja. Sebagai orang muda mengkritik orang tua sah-sah saja,” ujar orang dekat Kalla itu.
Natsir pun tak mempersoalkan acara Rembug Nasional yang digagas Kaukus Muda Partai Golkar. “Sepanjang usulan dari generasi muda itu konstruktif dan konstitusional, saya oke-oke saja,” kata anggota Departemen Hubungan Luar Negeri dan Pertahanan Keamanan DPP Partai Golkar ini.
Meski begitu, Natsir tak sependapat bahwa Golkar tak bergerak dan belum melakukan konsolidasi untuk menghadapi Pemilu 2009. “Yang namanya organisasi apalagi Golkar yang umurnya sudah matang dan organisasinya sudah solid, dinamika dalam partai golkar ini bergerak setiap hari. Ada yang mengkritik, ada yang senang dan tidak. Hal itu wajar lah. Yang pasti masih untung yang mengkritik adalah kader muda Golkar sendiri,” ujarnya.
Natsir berharap DPP memperhatikan kegelisahan yang disampaikan kalangan muda Partai Golkar. Menurut dia, Partai Golkar ke depan adalah milik orang muda. rm
Baca juga:
- Priyo Terpilih Jadi Ketua Fraksi Golkar
- Akbar Mulai Dikucilkan Golkar
- Akbar Sudah Dilupakan
- Golkar Main Bungkam
- Ada Apa, JK & TK Ketemu Di Ansor
Ada 1 komentar tentang berita ini :
'2009 Kuburan bagi Golkar' ??? Rabu, 27 Juni 2007, 07:56:43 WIB Komentator: sugeng |
Saya adalah orang non partai, karena sudah sejak lama yg namanya partai itu sama saja. Partai apapun namanya, 'politik Kekuasaan' itu yg ada didalam benak masing2 anggotanya, dengan dibumbui 'demi rakyat banyak, dsb, dsb. Namun saya tertarik dengan Golakar Pradigma Baru setelah Orde Baru tumbang dan berganti dg era Reformasi, dimana kita mengharapkan pembaharuan yg radikal, khusus mengenai pemberantasan Korupsi!!!, Golkar harus menjadi contoh soal, dan pelopornya, karena paradigma lama sufah berakhir. Ingat jaman Orba kalau di kalangan pegawai negetri ada pemeo 'kalau dapat dipersulit, kenapa dipermudah?', nah paradigma ini yg selalu berkaitan dg KKN kan dulu ada grup A\\'ABG'., jadi saling mem-back up. Bung Kamarussamad (Waka Sekjen AMPI) benar adanya, dia mengkritisi para Bosnya di Golkar. Disaat rakyat menderita itulah Golkar seharusnya berinisiatif mengangkat dari penderitaan, sepert harga Migor yg mahal, korban Lapindo yg berkepanjangan, dsb, dsb. Yah, semoga Golkar merubah pradigmanya. Semoga tahun depanya 2009 bukan 'kuburan' bagi Golkar, namun tempat bersemainya para pimpinan yang JUJUR dan ADIL. Selamat. |
Senin, 11 Juni 2007, 16:02:12 WIB
Laporan: M Hendry Ginting
Menurut Wakil Sekretaris Bidang Polkam DPP Partai Golkar Idrus Marham kepada Situs Berita Rakyat Merdeka mengakui bahwa F-PG sudah melayangkan surat ke DPP di Jalan Anggrek Neli, Slipi, Jakarta Barat agar segera mengevaluasi kinerja Yuddi Chisnandi.
“Dari F-PG surat sudah dikirim ke DPP beberapa hari lalu tentang perkembangan anggota di fraksi yang dinilai sudah melewati batas-batas kebijakan dari partai,” papar Idrus Marham di gedung DPR, Senayan, Senin siang ini (10/6).
Yuddi yang juga anggota Komisi I selama ini dikenal cukup lantang menyangkut isu-isu sensitif di DPR. Sebagai interpelator Iran, ia sangat ngotot agar Presiden SBY harus datang ke DPR untuk menjelaskan duduk persoalan masalah dukungan RI atas Resolusi DK-PBB 1747.
“DPP harus segera mengevaluasi sepak terjang Yuddi yang tidak konsisten karena dianggap keluar dari kebijakan DPP tentang kehadiran Presiden SBY di DPR terkait interpelasi. Itu bisa dikatakan sebagai pelanggaran,” tegas Idrus Marham, bekas Ketua KNPI ini.
Ternyata, politisi asal Makassar itu, pandangan Yuddi tentang interpelasi tidak sesuai dengan pandangan fraksi yang merupakan kepanjangtanganan dari partai. “Sebagai anggota F-PG, Yuddi harusnya tunduk. Ini semata-mata untuk penertiban dan komitmen dalam menegakan aturan main saja di internal fraksi dan partai,” tandas Idrus.
Sikap yang berlebihan dan cenderung keterlaluan itu, sebut Idrus, DPP Partai Golkar harus berpikir ulang terhadap posisi Yuddi di DPR saat ini. “Dia sudah keterlaluan. 99 persen DPP harus rapat menyikapi surat dari fraksi,” tukasnya. iga
Rabu, 27 Juni 2007, 10:05:52 WIB
Laporan: Zul Sikumbang
Oleh karena itu, dalam rapat pleno Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar akan melakukan evaluasi terhadap pertemuan tersebut. Demikian disampaikan oleh Agung di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (26/6).
"Kalau dilihat dari fungsinya, sudah menyalahi aturan karena pertemuan di Medan sifatnya adalah operasional dan melibatkan unsur Dewan Pimpinan Pusat, DPD dan pimpinan Golkar tingkat kecamatan," kata Agung dengan nada kecewa.
Pertemuan yang dibungkus dengan silahturahmi itu bukan sikap resmi Partai Golkar, apalagi pertemuan itu menghasilkan suatu keputusan untuk berkoalisi dengan PDI Perjuangan.
"Kalau sampai menghasilkan suatu kesepakatan, itu bukan domainnya Dewan Penasehat Partai. Dewan Penasehat Partai hanya memberikan masukan, didengar atau tidak didengar," tambah Wakil Ketua Umum Golkar ini.
Ketika ditanya adanya rumor untuk mengelar Musyawarah Nasional terkait dengan Silahturahmi tersebut, Agung menyatakan, sampai sejauh ini tidak ada rencana dari DPP untuk mengelar Munas.
"Saya tidak tahu, kalaupun ada rumor untuk mengelar Munas, itu hanya keinginan sendiri, bukan institusi. Sebab Munas di Bali sudah diputuskan bahwa Golkar adalah partai pendukung pemerintah dan harus hati-hati dalam reposisi dengan pemerinta," jelas Agung.
Sedangkan sanksi yang bakal diterima oleh Surya Paloh dengan perbuatannya, Agung hanya menyatakan, Dewan Pimpinan Pusat telah melakukan evaluasi terhadap haul (pertemuan) tersebut.
"DPP telah melakukan rapat pleno, evaluasi acara tersebut menjadi hasil rapat," jelasnya. iga
Kamis, 28 Juni 2007, 07:24:07 WIB
Pertemuan Medan, Ide Brilian Tapi Salah Orang
Jakarta, Rakyat Merdeka. Rencana DPP Partai Golkar yang akan mengevaluasi Ketua Dewan Penasihat Surya Paloh karena melakukan pertemuan dengan Taufik Kiemas di Medan beberapa waktu lalu, telah membuat waswas sejumlah kader partai beringin yang ikut hadir dalam pertemuan itu.
Bila ternyata pertemuan Medan itu dianggap ilegal, karena tanpa lewat keputusan DPP, nama pengurus Golkar yang ikut hadir dalam pertemuan itu bisa dikenai sanksi.
Selain Paloh, pertemuan Medan itu juga dihadiri sejumlah pengurus DPD Partai Golkar. Nama Ketua DPD Lampung Alzier Dianis Thabranie pun dikabarkan sebut hadir dalam pertemuan itu. Bahkan dia, disebut-sebut sebagai motor pertemuan itu.
“Saya sudah jelaskan, posisi saya tidak ikutan dalam acara tersebut. Ke Medan saja, nggak. Memang bertebaran sms gelap. Semuanya sudah saya laporkan kepada ketum dan wakil ketum. Yang jelas, kami ikuti aturan partai,” tandas Alzier.
Ia mengatakan bahwa garis Partai Golkar sudah tegas dan jelas yakni sebagai menjadi partai pendukung pemerintah. Sejauh ini, pertemuan petinggi Golkar dan PDIP di Medan, memang bukan atas inisiatif DPP. “Saya sendiri heran, kenapa nama saya dibawa-bawa. Tetapi sudah saya jelaskan semuanya. Kita tunduk dan taat terhadap keputusan partai,” tukasnya.
Alzier mengkhawatirkan adanya pihak-pihak yang ingin mengobok-obok internal Partai Golkar, dengan meniupkan fitnah-fitnah keji mengenai pertemuan Medan itu. Sejauh ini, kata dia, DPD Lampung tunduk terhadap garis kepemimpinan Jusuf Kalla.
Fungsionaris Partai Golkar Anton Lesiangi menegaskan, Surya Paloh sebagai pejabat fungsional, tidak memiliki wewenang dalam mengambil suatu keputusan partai yang bersifat strategis.
“Meski demikian, gagasan Surya Paloh, sangatlah brilian. Dia layak disebut The Hero bagi Golkar. Sayangnya, eksekutornya salah. Seharusnya diputuskan oleh pejabat struktural dalam hal ini ketum atau wakil ketum,” paparnya.
Anton menjelaskan, kekisruhan pascapertemuan Medan ini seharusnya tak tidak perlu terjadi apabila Ketua OKK Partai Golkar Syamsul Muarif memberikan penjelasan kepada Surya Paloh mengenai jabatan ketua Dewan Penasihat yang disandangnya. Ketua Dewan Penasihat, jelas dia, bersifat fungsional. Tugasnya memberikan gagasan atau pertimbangan, saran dan nasihat kepada DPP. Selanjutnya DPP yang menindaklanjuti.
Anehnya, ucap Anton, Ketua OKK justru mendiamkan tindakan Surya Paloh. Dalam hal ini, Surya Paloh tidak bisa disalahkan. “Saya yakin, ketua OKK tahu aturan partai. Dulu memang pernah dilakukan Akbar Tandjung (saat menggalang Koalisi Kebangsaan dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri). Tetapi ingat, saat itu Akbar sebagai pejabat struktural. Dia kan Ketum Golkar,” jelasnya.
Menurutnya, arah pertemuan Medan sifatnya sangatlah strategis. Karena membicarakan peluang aliansi menghadapi Pemilu 2009. Apalagi tidak ada jaminan bahwa Golkar pada 2009 akan tetap mengusung duet SBY-JK. “Kalau Golkar menang lagi, tentunya akan mengajukan capres dong. Orang nomor satu bukan dua. Saya sendiri kagum dengan ide Surya Paloh. Bahwa 2009 harus kami rebut kekuasaan. Tetapi tujuannya untuk mensejahterakan rakyat, bukan untuk bagi-bagi kekuaaan semata,” paparnya.
Ke depan, lanjutnya, petinggi Partai Golkar harus memutuskan masalah ini. Artinya, gagasan yang dikemukakan Ketua Dewan Penasihat tentang aliansi strategis dengan PDIP perlu dipertimbangkan ditindaklanjuti atau tidak. “Disini butuh sikap negarawan dan kearifan dari ketum. Jangan sampai menimbulkan masalah baru,” paparnya. rm
Minggu, 01 Juli 2007, 12:05:20 WIB
Menurut Ketua Fraksi Golkar DPR Priyo Budi Santoso, paket RUU Politik untuk Pemilu 2009 hendaknya tetap menggunakan sistem proporsional terbuka terbatas. "Sebab, itu (gagasan SBY, Red) bisa membahayakan kaderisasi partai," katanya dalam acara silaturahmi 10 pimpinan fraksi DPR di kawasan Senayan, Jaksel, kemarin.
Dalam pertemuan tersebut, hadir pula Jhony Allen Marbun dari Fraksi Partai Demokrat, Jamaludin Karim dari Fraksi BPD, Ketua Fraksi PDS Pastor Saut Hasibuan, Ketua Fraksi PPP Lukman Hakim Saifuddin, Ketua FKB Effendy Choirie, Yuddy Chrisnandy dan Aziz Syamsudin dari FPG, serta Fachry Hamzah dari FPKS.
Jika kembali pada sistem proporsional terbuka terbatas, ujar Priyo, seorang calon anggota legislatif (caleg) akan lolos menjadi anggota dewan jika bisa melalui bilangan pembagi pemilih (BPP) 25 persen. Jika tidak lolos, lanjut Priyo, otoritas penentuan "caleg jadi" diberikan kepada masing-masing partai sesuai nomor urut yang telah ditentukan.
Jika dalam pembahasan paket RUU Politik itu pemerintah ngotot minta penerapan sistem suara terbanyak, Partai Golkar akan mengajukan sistem distrik. "Kalau mau sakti-saktian, ayo buktikan sekalian. Kami akan ajukan sistem distrik kalau pemerintah tetap minta penghapusan sistem nomor urut," kata wakil ketua Komisi II DPR itu.
Karena kekuatan politiknya mapan, Partai Golkar bersedia diajak bertempur di segala medan. Terkait dengan usul penggunaan parliamentary threshold (PT), Priyo mengakui partainya selalu siap. "Silakan saja mau pasang PT satu persen. Yang pasti, Partai Golkar tidak akan menindas partai baru," katanya. Karena itu, lanjut dia, semua sistem kepemiluan harus dipertimbangkan secara matang demi sehatnya demokrasi.
Ketua Fraksi PPP Lukman Hakim Saifuddin menyatakan cenderung mempertahankan penggunaan electoral threshold (ET) tiga persen. Yakni, persyaratan standar bagi partai politik untuk bisa mengikuti pemilu. "Tiga persen ET itu sudah logis," katanya kemarin. Kalaupun mau menggunakan parliamentary threshold, PPP berani memasang angka dua persen.
"Tapi, penggunaan PT itu bisa membahayakan partai-partai baru," katanya. Terkait dengan formasi daerah pemilihan (dapil), PPP menginginkan untuk tetap menggunakan sistem dapil seperti yang dipakai pada Pemilu 2004. Menurut Lukman, pembahasan paket RUU Politik itu hendaknya tidak diubah jika tidak diperlukan. "Ini kan hanya revisi, bukan membuat UU baru. Jadi, kalau tak perlu diubah, ya jangan diubah," ujarnya.
Menanggapi tantangan Partai Golkar untuk memasang sistem distrik, Ketua Fraksi PAN Zulkiefli Hasan mengaku siap. "Kalau menggunakan distrik murni, kami siap," tegasnya. jpnn
Kamis, 05 Juli 2007, 06:54:17 WIB
INFORMASI yang diperoleh Rakyat Merdeka, perombakan fraksi ini telah disetujui rapat harian DPP, Ketua Umum Jusuf Kalla dan juga Wakil Ketua Umum Agung Laksono. Formasi baru fraksi yang sudah disetujui ini telah diserahkan ke Sekjen Soemarsono untuk dibuatkan surat keputusan (SK).
Ferry Mursidan Baldan akan dicopot dari wakil ketua fraksi bidang Polkam dan digantikan Yuddy Chrisnandi. Wakil Ketua Faksi bidang Umum yang sebelumnya dijabat Darul Siska akan digantikan Mujib Rochmat.
Hari Azhar Azis ditetapkan sebagai wakil ketua fraksi bidang ekonomi. Wakil ketua fraksi bidang kesra ditempati Aisyah Hamid Baidlowi. Sementara, Fachri Andi Laluasa dipercaya sebagai wakil ketua fraksi bidang industri dan perdagangan.
Sekretaris fraksi akan dijabat Samsul Bahri. Sedang, Bendahara Bobby Suhardiman. Samsul akan dibantu empat wakil sekretaris dan Bobby dibantu tiga wakil bendahara fraksi.
Perombakan fraksi ini juga akan menyebabkan perubahan komposisi kepemimpinan komisi, panitia dan badan di DPR yang selama ini ditempati orang Golkar. Kabarnya, Darul akan dijadikan wakil ketua Komisi V DPR menggantikan Hardi Susilo. Sedang, nasib Ferry yang selama ini dikenal orang dekat bekas ketua umum Partai Golkar Akbar Tandjung, belum jelas.
Sas-sus yang santer di DPR, Priyo juga akan merotasi beberapa kader yang duduk di Panitia Anggaran seperti Achmad Hafiz Zawawi dan Setya Novanto. Awal Kusumah yang saat ini ketua Komisi XI DPR dikabarkan juga akan diganti. Begitu pula, Slamet Effendi Yusuf yang saat ini ketua Badan Kehormatan DPR.
Priyo yang dihubungi wartawan, kemarin membantah sas-sus perombakan fraksi yang diikuti pergeseran komposisi kepemimpinan komisi, panitia maupun badan di DPR. “Nggak betul itu. Masalah formasi pimpinan fraksi, suatu saat akan saya umumkan. Untuk rotasi atau pergantian pimpinan komisi, badan dan panitia anggaran, tunggu setelah Agustus. Saya minta jangan mempercayai kabar yang tak jelas itu,’’ pintanya.
Namun, sumber Rakyat Merdeka di DPP Partai Golkar memastikan, perombakan fraksi ini sudah final. Tujuannya untuk penyegaran karena pengurus fraksi saat ini sudah menjabat lebih dua tahun. Formasi baru Fraksi Partai Golkar akan mulai aktif Agustus 2007. rm
Kamis, 05 Juli 2007, 12:38:07 WIB
Laporan: Sugihono
Ketua Kaukus Muda Partai Golkar Kamrusamad bahkan dengan lantang menyatakan bahwa kepemimpinan JK sebagai Ketua Umum Partai Golkar dinilai terburuk dibanding dengan pemimpin sebelumnya.
Salah satunya, kata dia, JK dianggap sudah nepotisme dengan membawa gerbong keluarga besarnya menjadi pejabat teras di Golkar. Mulai dari adik-adiknya sampai menantu.
“Kepemimpinan JK sangat buruk karena mempraktikan neportisme. 7 orang keluarganya jadi pengurus. Ini sudah tidak sehat. Partai Golkar bukanlah koporasi partai,” kecam Kamrusamad kepada sejumlah wartawan di Bebek Bali, Taman Ria Senayan, Kamis siang ini (5/7). Disebutkan, Suhaeli Kalla (adik JK) menjadi wakil bendahara umum dan Langlang Wirangkoro (mantu JK) duduk sebagai pengurus DPP.
Kamrusamad pun menambahkan, pemimpim Partai Golkar dinilai saat ini tidak punya itikad baik untuk memperbaiki internal partai. Bahkan, kata dia, praktik pungutan liar marak dilakukan oleh pengurus pusat.
“Ada pungli 1,2 juta per orang kalau mau jadi fungsionaris pusat. Itu yang marak terjadi sekarang. Apalagi, kalau orang mau jadi caleg, dia harus setor miliaran rupiah. Gila nggak!” bebernya tanpa tedeng aling-aling.
Yang disesalkan, kader-kader Golkar yang punya potensi dan prestasi tapi tidak punya banyak uang untuk setor, justru terbuang dan tidak bisa diakomodasi. Jadi, katanya, sejak kepemimpinan JK selama ini, Golkar sepertinya sudah menjadi organisasi profesi dan kental politik ekonomi dagang sapi. iga
Selasa, 12 Juni 2007, 06:08:14 WIB
Tuntut Presiden Datang Ke DPR
Jakarta, Rakyat Merdeka. Fraksi Partai Golkar DPR meminta DPP menjatuhkan sanksi kepada politisi partai beringin di Senayan yang menolak mengikuti kebijakan fraksi dalam hal interpelasi mengenai Iran.
Surat permohonan kepada DPP itu ditandatangani Pelaksana Ketua FPG DPR Idrus Marham dan Pelaksana Sekretaris FPG Syamsul Bahri. Dalam surat itu, fraksi meminta DPP Partai Golkar merespon dan mengevaluasi sikap anggota fraksi yang berseberangan dengan kebijakan partai.
“Ya salah satunya Yuddi Crishnandi sebagai salah satu interpelator soal Iran dari Partai Golkar yang kami laporkan. Dia telah berseberangan dengan ketentuan dan kebijakan Partai Golkar soal Iran. Makanya kami laporkan,” kata Idrus.
Idrus menjelaskan, kebijakan Partai Golkar mengenai interpelasi Iran ini sudah jelas dan sudah diberitahukan kepada seluruh anggota fraksi. “Bahwa partai Golkar tidak mempermasalahkan apabila menteri yang datang menggantikan Presiden, karena hal tersebut tidak melanggar ketentuan Tata Tertib DPR,” katanya.
Sanksi apa yang dijatuhkan kepada Yuddy? Idrus mengaku menyerahkan sepenuhnya keputusan mengenai sanksi kepada DPP. “Apakah itu teguran atau yang lainnya kita serahkan pada pimpinan DPP. Saya dulu juga pernah dapat teguran karena melanggar ketentuan partai, waktu itu saya minta maaf,” beber Idrus.
Namun tak tertutup kemungkinan akan dijatuhkan sanksi pemberhentian terhadap anggota fraksi yang menolak mematuhi kebijakan fraksi. “Ya kalau nggak mau juga patuh, keluar saja dari Partai Golkar. Fraksi merupakan perpanjangan tangan partai kan,” katanya.
Usulan pemberian sanksi kepada Yuddy ini, kata Idrus, merupakan bukti bahwa Partai Golkar adalah partai pendukung pemerintah. “Kita ingin membuktikan bahwa sebagai partai yang mendukung pemerintah dan partai terbesar, Golkar solid dan konsisten atas keputusan DPP, maka sangat wajar kalau diadakan evaluasi saat ini,” terangnya.
Menanggapi hal itu, Yuddy mengaku siap menerima sanksi apapun dari DPP maupun fraksi asalkan melalui prosedur yang obyektif dan adil, sesuai dengan AD/ART partai. Sebelum dijatuhi sanksi, Yuddy meminta agar diberi kesempatan untuk menjelaskan duduk persoalan sebenarnya. “Jadi tidak ada masalah,” ujarnya.
Dia mengaku hingga kini belum pernah menerima satu surat pun dari fraksi maupun DPP yang menegur dirinya karena menjadi penggagas interpelasi Iran. rm