Rabu, 29 Agustus 2007

Spirituality Management


Oleh Yodhia Antariksa
28 Agustus 2007

Ketika kita mencoba membincangkan spirituality management, setidaknya terdapat tiga jenis kontribusi yang bisa disumbangkan bagi kemajuan praktek bisnis dan manajemen. Yang pertama, dimensi spiritualitas memberikan pondasi yang kuat untuk membangun integritas moral yang kokoh bagi para pelaku bisnis (karyawan, pengusaha, kaum profesional). Itulah profil integritas yang dinaungi oleh misalnya, sikap kejujuran, kesederhanaan, dan sikap yang mengacu pada etika kebenaran. Kini misalnya, kita melihat begitu banyak perusahaan yang mencantumkan aspek integritas dalam 'core competency' yang mereka susun. Tentu saja, aspek integritas ini akan mampu diwujudkan -- dan bukan jadi sekedar kata-kata hiasan -- jika semua karyawan di perusahaan tersebut memiliki kadar sprititualitas yang tidak rapuh.

Kontribusi yang kedua berkaitan dengan pengembangan etos kerja yang berorientasi pada kemajuan dan keunggulan kinerja (excellent performance). Dimensi spiritualitas semestinya mampu dijadikan driving force yang kuat untuk menancapkan motivasi dan etos kerja yang selalu mengacu pada prestasi terbaik. Dalam konteks ini mestinya ada kesadaran kuat untuk menjalankan "teologi kerja (job theology)" : atau sebuah niatan suci untuk selalu menganggap pekerjaan kita sebagai sebuah ibadah dan bentuk pengabdian kita pada Yang Maha Agung. Ketika kita bekerja dikantor dengan asal-asalan dan menghasilkan kualitas brekele, atau ketika ketika kita hanya mempu menciptakan pelayanan yang amburadul dan membikin para pelanggan patah arang, maka mestinya kita menanggap ini semua sebagai sebuah "dosa" dan kita mesti merasa malu dihadapan Yang Maha Tahu.

Sebaliknya, ketika kita selalu bisa mempersembahkan kinerja yang istimewa, atau ketika kita mampu mengagas dan melaksanakan ide-ide kreatif untuk memajukan perusahaan, maka mestinya ini semua tidak melulu didasari oleh keinginan untuk naik pangkat, atau mendapat bonus yang besar, melainkan pertama-tama mesti dilatari oleh niatan suci untuk beribadah. Sebuah niatan yang didorong oleh kehendak untuk mengabdi dan memuliakan Yang Diatas. Dalam konteks inilah, dimensi spiritualitas dapat menjelma sebagai sebuah inner force yang kokoh dan mampu memotivasi kita untuk terus bekerja keras memberikan yang terbaik.

Kontribusi ketiga yang layak disebut adalah potensi sumbangan dimensi spiritualitas dalam membangun apa yang kini sering disebut sebagai learning organization. Tak pelak, hampir semua agama didunia selalu mendorong para umatnya untuk terus belajar dan menuntut ilmu. Dalam Islam misalnya, ayat pertama yang diturunkan berbunyi iqra' (artinya, bacalah!): sebuah simbolisasi yang menekankan betapa pentingnya proses belajar dan menuntut ilmu bagi kemajuan peradaban manusia. Dengan demikian, upaya untuk membangun 'learning culture', upaya mendorong para karyawan untuk terus merengkuh ilmu, atau upaya untuk menumbuhkan "knowledge management system", merupakan serangkaian proses yang senantiasa perlu digerakkan. Sebab, semua ini sesungguhnya merupakan perwujudan dari dimensi spiritualitas kita dan juga bentuk ibadah kita kepada Yang Maha Mengetahui.

Itulah tiga jenis kontribusi penting, yang saya kira, bisa diberikan oleh ruh spiritualitas dalam proses manajemen modern. Jika tiga elemen diatas mampu ditancapkan dalam realitas kerja kita, maka Insya Allah, kejayaan sebuah peradaban pasti bisa akan kita rengkuh.

Keterangan Penulis:
Yodhia Antariksa adalah Konsultan Manajemen SDM dan pengelola strategimanajemen.net, blog tentang management skills, human capital dan business strategy.

Bisnis Syariah Antara Realita dan Idealita


Oleh Bey Laspriana
24 Agustus 2007

Tiga tahun terakhir ini, bisnis syariah di Indonesia berkembang semakin pesat. Menjamurnya unit-unit bisnis syariah di beberapa bidang bisnis, seperti perbankan, asuransi, pegadaian, Lembaga Keuangan Mikro, hotel, lembaga pembiayaan, bahkan advertising membuktikan hal itu.

Satu sisi perkembangan ini haruslah kita syukuri bersama. Karena dengan itu kesempatan kita untuk hidup secara kaffah semakin terbuka lebar. Namun pada sisi lain, kita juga patut khawatir kalau-kalau para pemain bisnis syariah saat ini semata-mata menjadikan ‘pasar’ sebagai pertimbangan dalam melakukan ekstensifikasi bisnisnya, buka atas dasar semangat ruhiyah (ketaatan dan ibadah pada Allah swt). Artinya, realitas (persaingan bisnis) bisa mengalihkan bisnis syariah dari idelisme syariahnya.

Secara bahasa, Syariat (al-syari’ah) berarti sumber air minum (mawrid al-ma’ li al istisqa) atau jalan lurus (at-thariq al-mustaqiim). Sedang secara istilah Syariah bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah Swt melalui Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah? ibadah, akhlak, makanan, minuman pakaian maupun muamalah (interaksi sesama manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Bisnis sendiri merupakan salah satu dari bentuk muamalah yang dibenarkan oleh Islam. Yaitu sejumlah usaha untuk mendapatkan keuntungan. Maka bisnis syariah adalah sebuah aktivitas usaha yang mendasarkan pada aturan yang tertuang dalam al Qur’an, al Hadits, Qiyas dan Ijma’. Pengertian diatas mendasarkan pada kaidah umum hukum syara tentang amal (perbuatan), yaitu "Al-ashlu fil af’al at taqayyud bi hukmi syar’iy" (hukum asal dari perbuatan adalah terikat pada hukum syara).

Maka secara ringkas. Jika menggunakan dasar diatas. Bisnis syariah mestinya memiliki keunikan dan ciri tersendiri. Jika saya boleh berpendapat, kekhasan itu berupa :

Selalu Berpijak Pada Nilai-Nilai Ruhiyah
Nilai ruhiyah adalah kesadaran setiap manusia akan eksistensinya sebagai ciptaan (makhluq) Allah yang harus selalu kontak dengan-Nya dalam wujud ketaatan di setiap tarikan nafas hidupnya. Ada tiga aspek paling tidak nilai ruhiyah ini harus terwujud , yaitu pada aspek : (1) Konsep, (2) Sistem yang di berlakukan, (3) Pelaku (personil).

Memiliki Pemahaman Terhadap Bisnis yang Halal dan Haram
Seorang pelaku bisnis syariah dituntut mengetahui benar fakta-fakta (tahqiqul manath) terhadap praktek bisnis yang Sahih dan yang salah. Disamping juga harus paham dasar-dasar nash yang dijadikan hukumnya (tahqiqul hukmi).

Benar Secara Syar’iy Dalam Implementasi
Intinya pada masalah ini adalah ada kesesuaian antara teori dan praktek, antara apa yang telah dipahami dan yang di terapkan. Sehingga pertimbangannya tidak semata-mata untung dan rugi secara material.

Berorientasi Pada Hasil Dunia dan Akhirat
Bisnis tentu di lakukan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyak berupa harta, dan ini di benarkan dalam Islam. Karena di lakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi (qimah madiyah). Dalam konteks ini hasil yang di peroleh, di miliki dan dirasakan ada dalam kehidupan dunia.

Namun, seorang Muslim yang sholeh tentu bukan hanya itu yang diinginkannya, tapi lebih dari itu. Yaitu kebahagiaan abadi di yaumil akhir. Oleh karenanya, dia harus menjadikan apa yang dikerjakannya itu sebagai ladang ibadah dan menjadi pahala di hadapan Allah . Hal itu terwujud jika semua yang kita lakukan selalu mendasarkan pada aturan-Nya yaitu syariah Islam.

Jika semua hal diatas dimiliki oleh seorang pengusaha muslim-syariah, niscaya dia akan mampu memadukan antara realitas dan idealita sehingga memberikan manfaat bagi kehidupannya di dunia maupun akhirat. Jadilah kaya yang dengannya kita bisa beribadah di level yang lebih tinggi lagi.

Keterangan Penulis: Bey Laspriana adalah praktisi sekaligus pendiri Syafa’at Advertising, Yogyakarta. Memiliki obsesi mengembangkan komunikasi visual dan pemasaran berbasis syariah.

Rabu, 15 Agustus 2007

Musim Mencari Sekolah


Kolom Leak Koestiya

Musim durian baru saja berlalu. Kalau toh di pinggir-pinggir jalan masih kita jumpai ada satu-dua pedagang kaki lima yang menggantungkan durian dagangannya, pastilah itu durian terakhir yang tersisa di musim kali ini. Musim sedang berganti.

Sekarang, tibalah saatnya musim anak mencari sekolah. Antara durian dan anak sekolah sebenarnya tak ada hubungan. Tapi, soal perlakuan, kadang ada kesamaan. Kita sering heboh -baik soal anak maupun durian- ketika musimnya sedang tiba saja. Baunya suka nggak keruan menyebar ke mana-mana.

Inilah saatnya orang tua, terutama yang hendak mencarikan sekolah untuk anaknya, mengeluh pusing dan banyak yang pontang-panting ke sana kemari mencari pinjaman dana.

Tentu tidak semua. Tapi, topik tentang mencarikan sekolah anak memang lagi musimnya dan hangat-hangatnya. Sejauh mana kita bersungguh-sungguh memikirkan sekolah anak dan tidak menganggapnya sebagai sebuah acara musiman semata? Masing-masing orang tua berbeda-beda.

Ada orang tua yang lemes gara-gara batal ganti audio mobil karena harus membayar uang pangkal sekolah anaknya. Keinginan mengganti perangkat audio mobil adalah keinginan lama. Tapi, membayar biaya masuk sekolah anak adalah sesuatu yang sepertinya datang begitu tiba-tiba.

"Biasanya nggak pernah saya terlambat membayar tagihan kartu kredit. Tapi, bulan ini nggak tahu deh. Habis, anakku masuk sekolah sekarang," ujar seorang bapak muda kepada temannya.

Semua orang tua tentu mencintai anaknya, tapi sering gagal untuk sungguh-sungguh menjalankan tool aplikasinya. Dan, ketika menyangkut biaya sekolah, kebutuhan jenis itu sering masuk kategori biaya lain-lain. Ia menjadi semacam biaya tak terduga saja.

Ini memang musim anak mencari sekolah. Kantor pegadaian dan bank perkreditan rakyat disesaki nasabah pada hari-hari ini. Karena memang musimnya, kalung, televisi, atau BPKB pun ikut "disekolahkan". Di kantin, saya menjumpai percakapan mencengangkan tentang SD swasta full day yang SPP-nya jauh lebih mahal ketimbang uang semester mahasiswa (negeri, tentu!). Belum jumlah uang sumbangannya.

Menyebut uang sumbangan sekolah, kita bisa lebih tercengang lagi. Sebab, di musim anak mencari sekolah, kata sumbangan bisa punya arti khas dan unik.

Logikanya, sekolah-sekolah yang perlu sumbangan besar adalah sekolah yang dindingnya rentan roboh, plafonnya rontok, bangku-bangkunya reyot, dan bocor saat hujan karena gentingnya pada melorot. Kenyataannya justru sebaliknya.

Gedung-gedung sekolah yang megah dan ruangan-ruangannya yang berpendingin, kewajiban menyumbang bagi orang tua calon siswa ditarik sebanyak-banyaknya. Sekolah yang lebih kreatif dan tidak vulgar menarik sumbangan menemukan cara yang elite. Sebagai orang tua calon siswa, ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi saat mendaftarkan anaknya.

Yaitu, orang tua calon siswa harus menjadi member sebuah perkumpulan golf yang menjadi satu dalam sebuah jaringan korporat. Nah, untuk menjadi anggota golf club, mereka harus menyediakan uang setidaknya seratus juta. Itu bisa lebih, bergantung jenis keanggotaan Anda di golf club itu. Apakah Anda ingin menjadi pemegang gold card, platinum, atau lainnya.

Itu baru soal biaya, belum bicara sistem. Menurut si cantik Sophia Latjuba dan kawan-kawan dalam Education Forum yang memenangkan gugatan atas pelaksanaan ujian nasional (unas) oleh pemerintah, banyak siswa terganggu secara psikologi dan mental akibat unas. Kalau memang benar kenyataannya, oh... betapa menyedihkan.

Sebagai orang tua, tentu kita semua pernah merasakan sekolah. Tapi, sekolah pada zaman kita memang tidak seheboh sekarang. Betapa makin berat biaya yang harus ditanggung orang tua murid. Juga, betapa rumit sebenarnya hidup yang harus dijalani seorang siswa. Sekolah bukan persoalan pelajaran dalam kelas semata.

Di Kota Tegal, seorang siswi bisa ditemukan tewas gantung diri gara-gara tak kuat menanggung malu akibat diejek teman-temannya. "Hari gini masih ada orang nggak punya handphone..." ledek teman-teman sekelasnya.

Pada zaman ini, tak ber-handphone adalah beban rasa malu yang tak tertahankan bagi seorang siswa. Dibelikan handphone tapi tak dilengkapi fitur MP3 dan kamera, masih ngambek juga. Punya HP berkamera, malah dipakai merekam adegan porno bersama temannya. Itu sungguh tak berkaitan dengan kurikulum atau sistem pendidikan kita. Tapi, sangat nyata sebagai wajah kehidupan siswa di sekolahan sekarang.

Betapa sering kita mendengar cerita seorang anak yang mogok sekolah karena tak dibelikan sepeda motor oleh orang tuanya. Sementara orang tuanya memang benar-benar tak mampu membelikan. Pada level yang lebih tinggi, seorang pelajar SMA bisa stres berat gara-gara mobilnya kalah keren dari temannya.
***
Dalam Rich Dad Poor Dad karangan Robert T. Kiyosaki yang begitu laris dan menggemparkan, bicara tentang sekolah hingga setinggi-tingginya, menjadi kutu buku, berkacamata minus tebal, bergelar banyak adalah hal percuma saja. Sepanjang kita tak sukses mencari dan menghasilkan banyak uang.

Oleh Kiyosaki, antara sekolah dan kepintaran mencari duit ibarat sebuah jalan yang ujungnya terbelah menjadi dua. Jalur yang satu menuju sekolah hingga setinggi dan sepandai-pandainya, jalur yang satu lagi adalah rute mencari uang sebanyak-banyaknya.

Kata Rich Dad (ayah kaya) dalam buku itu, betapa kasihan seorang profesor doktor yang semua waktunya dihabiskan untuk sekolah hingga lupa cara mencari duit. Tiap bulan menerima gaji kecil dan sepanjang hidup dia jalani dengan uang pas-pasan saja.

Sebagai orang tua anak saya yang sedang mencari sekolah, rasanya saya tidak terprovokasi Rich Dad Poor Dad karangan Kiyosaki yang begitu menarik dan menghasut itu. Tapi, sekarang saya memang sedang bingung memikirkan ke mana anak saya harus masuk sekolah.

Memang ribet kalau sebagai orang tua juga harus ikut memikirkan sistem pendidikan kita yang memang tak kunjung membaik itu. Maka, pilihannya adalah menyekolahkan anak ke sekolah berstandar internasional yang pasti mahal. Tapi, seratus juta rupiah sebagai uang sumbangan juga bukan jumlah yang gampang didapat. Lagian, saya juga tidak hobi golf.

Saat saya bingung mencari sekolah seperti itu, sungguh saya membayangkan anak saya bersekolah di SD inpres seperti saya dulu. Tiap pagi berjalan kaki tanpa sepatu dari rumah ke sekolah yang jaraknya lebih dari empat kilometer. Melewati pematang sawah, sepulang sekolah langsung nyebur ke kali tanpa perlu melepas celana dan baju. Ohoi... ndeso sekaligus katrok!

Juni bulan depan adalah bulan penerimaan rapor untuk para siswa. Betapa banyak orang tua yang bakal memarahi anaknya karena nilai merah atau ranking-nya turun. Terus terang, saya juga telah membayangkan rapor anak saya yang sekarang baru mau masuk SD itu. Saya seperti bernostalgia ketika melihat nilai rapornya yang funky karena begitu banyak nilai merahnya. He he... persis rapor bapaknya ketika sekolah dulu! (leak@jawapos.com)

Jalan Hidup dan Jalan Raya


Kolom Leak Koestiya

Mengenang komedian tambun, Taufik Savalas, adalah mengenang indahnya sebuah jalan hidup seorang manusia sekaligus mengingatkan getirnya jalan raya yang kita punya. Jalan indah dan jalan getir sebenarnya adalah dua arah yang berbeda. Tapi, di negeri ini dua arah itu tiba-tiba bisa berpapasan kapan saja.

Untuk melihat jalan indahnya, marilah kita coba tengok masa lalu Taufik. Tumbuh sebagai anak-anak di sebuah gang sempit dan padat penghuni di daerah Jembatan Lima, dia seperti debu yang sepanjang waktu diempas dan diterpa ganasnya kehidupan ibu kota. Hidup sebagai selebriti seperti yang biasa kita saksikan di televisi tentu sebuah keindahan. Jalan panjang yang dilalui Taufik sebelum menjadi selebriti adalah keindahan lainnya. Sebagai seorang manusia, dia sungguh sebuah paket komplet. Di tangannya tergenggam pahit, getir, dan manis sekaligus. Pernah menjadi tukang jaga penitipan sandal dan sepatu di sebuah masjid, bergelantungan sebagai kernet angkutan kota, bahkan tukang aduk pasir-semen. Untuk menyambung hidup yang tidak lucu itu, Taufik juga melalui jalan berat sebagai tukang batu dan kuli bangunan.

Bakat humor yang sangat kuat memang akhirnya membawanya menjadi komedian papan atas di negeri ini setelah sukses sebagai pembawa acara canda-tawa di radio Suara Kejayaan. Masa lalunya yang pahit adalah juga asetnya ketika dia mengenyam hidup manis. "Saya berusaha untuk terus hidup seimbang," katanya suatu kali saat muncul di tayangan infotainment. Prinsip hidup seimbang itulah yang membuat Taufik menjadi berbeda dengan kebanyakan selebriti lainnya. Dia tak pernah kedengaran berurusan dengan gosip miring seperti teman-teman sejawatnya yang tak henti-henti berburu hura-hura serta kesenangan, khas selebriti.

Tapi, begitulah jalan hidup. Dan, beginilah jalan raya kita. Hidup bisa dititi dengan segenap langkah kehati-hatian jengkal demi jengkal. Tapi, jalan raya kita bisa mempraktikkan ketidakberadaban semaunya. Di jalan raya, sopir-sopir bus yang ugal-ugalan bisa tiba-tiba menjadi penentu hidup-mati para penumpang yang diangkutnya. Para sopir itu bisa seketika mengubah para penumpang yang duduk di belakangnya menjadi seperti ayam potong yang sedang diangkut menuju tempat eksekusi. Rem blong, sopir ngantuk, radiator bocor, serobot jalur sembarangan adalah penyebab celaka yang setiap saat kita dengar. Tak peduli siapa pun dan berapa pun nyawa yang telah direnggut, jalanan kita terus mempertontonkan wataknya yang keji dan ganas.

Semewah apa pun mobil Anda, sepanjang ia lebih kecil dibandingkan dengan kendaraan yang sedang berpapasan dengan Anda, minggirlah. Aturan dan sopan santun di jalan raya kita nyaris serupa hukum rimba dalam hutan belantara. Sedan adalah rusa, truk dan bus adalah harimaunya. Kalau Anda berkendara antarkota dengan city car atau mungkin sepeda motor, bersiaplah diperlakukan seperti kelinci yang setiap saat digasak para serigala jalan raya. Lihatlah senyum para sopir bus dan truk pengangkut tanah itu. Mereka seperti di puncak bahagia ketika mobil-mobil kecil yang dipapasnya pontang-panting ketakutan. Sebagai penumpang bus, kita memang cuma bisa ketakutan. Selebihnya adalah penyerahan hidup-mati kepada sopir.

Setiap tahun pada musim liburan sekolah, selalu saja terjadi serombongan anak sekolah yang melayang nyawanya karena bus yang mereka tumpangi masuk jurang, terbakar, tabrakan atau lainnya. Anak-anak yang ingin bergembira itu seperti menjadi pemuas sopir-sopir ceroboh dan bus tak layak jalan, tapi getol mengejar setoran. Nyawa para penumpang dianggap tak lebih sekadar komponen pelengkap kebiadaban jalan raya yang barbar.

Sepulang dari tanah suci beberapa waktu lalu, Taufik seperti berusaha untuk terus merapikan dan menata hidupnya. "Saya akan mengirit popularitas saya. Akan saya batasi jam tayang di televisi. Dua kali dalam seminggu muncul di televisi cukuplah," katanya dalam sebuah wawancara. Kalau artis dan pelawak-pelawak lain berusaha mengejar setoran dan jam tayang, Taufik justru sebaliknya. Ada semacam keinginan untuk mengerem laju hidup di tengah gempita panggung pertunjukan dan layar kaca.

Tapi, niat untuk mengerem tersebut, ternyata, terasa begitu mendadak dan tiba-tiba. Jalan panjang yang dia titi dan mulai dibangun dari sebuah gang sempit di Jembatan Lima itu kini terpangkas di sebuah ruas jalan raya di Purworejo. Mobil yang dia tumpangi sepulang mengisi acara lucu-lucuan dari Jogja dilibas truk pengangkut semen yang main salip seenaknya sehingga remuk tak berbentuk. Taufik tewas dalam tabrakan tersebut. "Saya ikhlas karena Tuhan mungkin punya kehendak lain," kata Hajah Rukaesih, ibundanya. Di jalan raya yang dipenuhi bus, truk, dan berbagi jenis kendaraan yang pengemudinya tak beretika, nyawa nyaris tak ada artinya. Siapa pun kita.

Terus, kapan kebiasaan brutal dan tak kenal etika di jalan raya itu bisa kita rem dan hentikan? Sepertinya, jalan masih jauh... (leak@jawapos.com)

Jeda


Leak Koestiya

Jaya Suprana pernah mencoba memberi pelajaran tentang arti penting sebuah jeda. Bos Jamu Jago ini menyelipkan esensi empty space di awal konser pianonya yang digelar pada awal tahun sembilan puluhan di Semarang. Waktu itu, ketika hall pertunjukan telah hening dan semua audience telah siap menerima alunan denting piano, Jaya Suprana memecah keheningan ruangan dengan satu pencetan tuts piano saja. Setelah itu, berhenti. Ruangan jadi hening seketika untuk beberapa lama, penonton pada bertanya-tanya.

Selanjutnya, kelirumolog yang pintar berhumor itu lantas mengguyur seluruh ruangan dengan buih-buih nada lewat jemarinya yang menari memainkan tuts-tuts piano. Kenapa Jaya Suprana berhenti untuk beberapa saat setelah menekan tuts piano di awal pertunjukan?

Akhirnya memang terjawab setelah konser usai. Katanya, orang telah punya persepsi yang keliru terhadap jeda. Jeda sering dipahami sebagai sebuah kekosongan belaka. Padahal, menurut Jaya Suprana, sebuah irama bisa terbentuk karena ada jeda antara nada yang satu dengan nada lain. Dalam kosong sebenarnya akan ada isi dan arti kalau kita bisa memaknai.

Hidup di kota besar adalah hidup dengan irama nonstop, sibuk, pekak, cenderung keras, dan seperti tanpa jeda. Berangkat kerja pagi-pagi, berdesakan di jalan, bersaing di kantor, lembur, tidur sebentar, lalu pagi lagi, kerja lagi. Ketika datang jeda pada saat cuti, misalnya, kita mungkin pergi ke tempat terpencil yang jauh. Tapi, tetap dengan laptop yang terus terkoneksi dengan internet dan dengan jaminan jangkauan sinyal operator seluler. Maka, di bungalow yang sunyi itu kita tetap dalam koneksi modernitas yang terus terhubung. Tetap bisa in touch dengan progress pekerjaan, balas email, buka portal news, dan seterusnya. Cuti tapi sibuk. Bahkan, ada yang bersyukur karena diopname di rumah sakit. He he... Lumayan bisa tiduran sambil baca-baca.

Di Jakarta lebih-lebih lagi. Orang bisa ngomel-ngomel lantaran terjebak kemacetan di jalan tol, padahal matahari belum terbit. Siang hari marah-marah lagi. Sebab, gagal menemui relasi karena di jalan berpapasan dengan iring-iringan demonstran. Beberapa bulan terakhir Jakarta telah menunjukkan irama hidup keseharian yang menyedihkan.

Ketika datang week end, semua ruas jalan di ibu kota sungguh mirip garasi panjang yang penuh sesak. Jalanan penuh mobil, tapi nyaris tak beringsut ke mana-mana. Pada Jumat orang beramai-ramai ingin meninggalkan Jakarta untuk berlibur ke mana saja. Mereka semua butuh semacam jeda. Tapi, lama-lama makin susah didapatnya.

Setelah kerja lembur hingga jam sembilan malam, para workaholic ingin mengubur kepenatan dengan mendatangi tempat-tempat dugem yang bertebaran di mana-mana. Tapi, tempat-tempat dugem itu baru buka menjelang tengah malam. Artinya, ada jeda waktu kira-kira tiga jam mulai pukul sembilan hingga pukul dua belas malam yang mereka anggap percuma.

Jeda inilah yang dibidik Cilandak Town Square (orang Jakarte menyebutnye Citos) sebagai pasar baru dari sebuah fenomena kebutuhan hidup modern di Jakarta. Kafe-kafe di mal itu dibuka hingga tengah malam agar orang bisa nongkrong guna menyambung ritme kerja lembur dan dugem sampai pagi. Di Jakarta, selama dua puluh empat jam semua bisa penuh terisi. Tanpa ada jeda, tanpa ada sunyi.

Dalam jagat kelir pewayangan, selalu ada jeda di tengah pertikaian antara Pandawa dan Kurawa yang suntuk dan bertele-tele. Di saat jeda tiba, akan muncul Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong dengan segala keleluasaannya. Punakawan itu muncul untuk memaknai apa arti jeda yang sebenarnya. Mereka bercanda sambil mengkritik dan mengevaluasi bendoronya. Semua bisa guyon tanpa ketersinggungan apa-apa. Jeda di sini saling dipakai untuk melihat siapa masing-masing dari kita sebenarnya, apa yang telah kita lakukan. Masa jeda ini dimaknai sebagai sebuah interlude (selingan) yang memang menjadi kebutuhan bersama. Perjalanan masih berliku-liku dan panjang. Perang melawan korupsi, ketidakadilan belumlah berakhir.

Dalam minggu ini konon akan ada reshuffle kabinet sebagai jawaban atas pertanyaan akan kinerja Presiden SBY. Reshuffle adalah semacam jeda di tengah lima tahun kepemimpinan presiden asal Pacitan itu. Sebagai rakyat, kita sebenarnya hanya ingin melihat jeda itu menjadi semacam ruang kosong yang memungkinkan semua bendoro kita untuk sejenak saling melihat diri masing-masing. Tanpa perlu ada ketersinggungan jika dievaluasi, tanpa perlu berontak kalau harus menanggalkan predikat menteri.

Kalau reshuffle sekadar tukar-menukar posisi, pemerataan jatah jadi menteri, kita pasti tak akan mendapatkan makna apa-apa dari jeda lima tahun pemerintahan SBY kali ini. Cuma omong kosong belaka. (leak@jawapos.com)

Nyabiladiong


Oleh:
Leak Koestiya

Judul ini bukanlah apa-apa. Bukan gabungan suku kata yang dipungut dari tempat terpencil yang jauh dan asing. Ia cuma sebuah ungkapan yang belakangan semakin sering kita dengar: nyambung bila diajak ngomong. Biar kesannya aneh, lantas saya pendekkan. Sesungguhnya, nyabiladiong adalah kebutuhan primitif yang sejak dulu juga ada. Cuma, tidak semendesak sekarang.

Era ini adalah era komunikasi dan aura kebebasan terus bergerak membaik. Era di mana kita sangat dimanja berbagai kemudahan untuk berkomunikasi. Handphone murah, internet dengan speed yang kian tinggi, banyak stasiun televisi, tiket pesawat murah, pulsa murah, bonus SMS gratis, akses kian mudah, dan seterusnya.

Makin hari, kita semakin gampang untuk saling berhubungan. Tapi, semakin sulit untuk saling memahami.

Pada era serbabebas ini, kita juga begitu leluasa bersikap serta memilih. Siapa saya, dia, mereka, dan siapa Anda adalah individu-individu yang semakin kuat perbedaannya. Pemahaman bahwa setiap kita adalah makhluk yang memang berbeda-beda, tentu kita tahu. Tapi, sekarang kian nyata faktanya.

"Saya adalah saya," kata saya. "Saya bukanlah fotokopi bapak saya," kata yang lain. Atau, misalnya lagi, jadilah diri Anda sendiri. Maka, seorang putri yang beranjak remaja akan berkata, "Ma, saya memang anak Mama, tapi nggak bisa kalau harus seperti Mama..."

Kata Khalil Gibran, anakmu bukanlah anakmu. Dan, istrimu memang istrimu. Tapi, kau tak berhak segalanya atas istrimu. Tak lagi musim untuk memaksakan seleranya agar sama. Tak boleh kita kasari jika pendapatnya berbeda. Mau kribo, mau gundul, mau pirang, mau seksi, semua terserah gue. Suka-suka lah.

Kalau kita mau menengok ke belakang, tentu akan terasa: betapa telah sangat berubah semuanya. Sekarang, untuk menjadi artis, tak lagi cantik memukau atau tampan menawan sebagai syaratnya. Bisa seperti Ucok Baba, boleh kacau seperti Thukul Arwana, atau kayak Agnes Monica. Terserah! Yang penting, sebagai individu, sekuat dan sehebat apa kemampuan Anda. Semua punya peluang yang sama, meski jenisnya tak sama. Anjuran tentang keseragaman adalah sesuatu yang terus merosot kepopulerannya.

Paradoksnya, kita semakin sulit menemukan pasangan yang punya kesamaan, bahkan untuk beberapa hal saja. Pasangan untuk menjadi suami istri, sekadar partner ngobrol, teman dekat, tempat curhat, pacar, teamwork, dan lain-lain.

Tanda-tanda krisis saling sulit memahami itu sangat gampang dikenali. Di mana-mana, orang mengidentifikasi diri dan mengenali yang lain dengan cara membentuk kelompok, peguyuban, serta semacam klub-klub. Terkadang, mereka harus berkumpul dari tempat yang jauh terpencar-pencar hanya karena ingin rumpi-rumpian.

Lewat kesenangan dan kesamaan aktivitas, kemudahan-kemudahan untuk berinteraksi mereka bangun. Siapa saya dan siapa Anda menjadi lebih mudah dan cepat dikenali. Klub Penggemar Penthol Baso, Asosiasi Maniak Tempe Penyet, Komunitas Pendaki Gunung Kembar, Klub Pemancing Sandal Jepit Laut Dalam, Perkumpulan Pemilik Vespa Lawas, dan lain-lain. Di komunitas itu, mereka bisa sangat gayeng saat saling ngomong.

Artis-artis selalu lebih transparan dan afdal dalam merefleksikan kenyataan tersebut. Ketika si cantik ini dan si tampan itu ditanya presenter infotainment "apa yang membuat Anda bisa jalan sama dia, lalu berencana hidup berumah tangga?" Jawaban generik yang diucapkan adalah karena dia orangnya enak atau asyik atau menyenangkan karena nyambung bila diajak ngomong.

Apa yang membuat pasangan itu nyambung bila diajak ngomong? Bisa kesetaraan pemikiran, bisa kesamaan kesenangan. Tapi, yang paling esensial adalah adanya saling pemahaman. Seorang pemilik vespa kuno bisa begitu cekatan menolong manakala berpapasan dengan pengendara vespa lain yang sedang mogok di jalan. Pengendara motor jenis lain bisa cuek-cuek saja.

Dalam skala yang lebih besar dan legal, kita mengelompok dalam banyak partai politik. Betapa beragam partai politik kita miliki. Betapa banyak perbedaan yang ada di sini. Betapa besar pemahaman yang sebenarnya kita butuhkan.

Presiden dan wakil presiden termasuk pasangan yang juga begitu baik menunjukkan adanya krisis ketidaknyambungan. Sebab, mereka memang merupakan representasi dari partai yang berbeda. Presiden ngomong begini, wapres ngomong begitu. SBY bersikap begini, Kalla bersikap sebaliknya.

Tapi, keasyikan tiba-tiba muncul begitu mereka berada di tengah-tengah komunitas partainya. SBY dengan Partai Demokrat-nya, Jusuf Kalla dengan Golkar-nya. Semua serbacocok dan nyambung adanya. Sejalan setujuan, sevisi sepenanggungan. Ohoi... ulukuthuk-olokothok, sayuk rukun amargo bolo (rukun karena teman).

Konon, dibutuhkan jiwa kenegarawanan sejati untuk bisa menanggalkan semangat kelompok dan perkoncoan. Agar, bisa memahami serta melihat arti yang lebih besar. Nah, kalau soal ngomong saja sulit nyambung, apalagi soal kerja mengurus negara. Pak SBY-Kalla, please jangan gitu dong, ah... Kita capek deh!

Ngomong apa saya ini, Anda nyabiladiong? (leak@jawapos.com)

Simon Cowell, Amien Rais, dan Slamet Gundono

Leak Koestiya

"Buat apa membeli seikat bunga kalau mampu membeli payudara."
Simon Cowell, juri American Idol.

Simon adalah pengkritik yang sangat pedas dan tajam. Kadang-kadang ia kita rasakan sebagai juri yang angkuh dan sombong. Makna kalimat yang ia ucapkan di atas adalah kekuasaan. Kekuasaan laki-laki yang merasa sangat perkasa karena banyak duit atas perempuan. Sebagai miliarder pemegang hak paten American Idol -oleh majalah Forbes, Simon ditempatkan dalam deretan 100 selebriti terkaya di dunia- Simon Cowell adalah penguasa pemegang kuasa. Raja di altar keraton kultur pop yang bisa bilang apa saja terhadap peserta audisi calon bintang idola Amerika. Uangnya melimpah, mengalir dari berbagai stasiun televisi yang tersebar di berbagai penjuru bumi. Dolar, rupiah, yen, euro seperti terus bermuara ke dompetnya yang kian tebal hingga tak bisa ditekuk. Meski, kadang ia tak berselera untuk duduk di meja panel penjurian.

"Malam ini saya seperti sedang di depan kamar mandi dan mendengarkan orang bernyanyi dengan kacau," kata Simon suatu kali mengomentari kontestan yang tampil pas-pasan. Ia lalu cuek meninggalkan meja penjurian menuju limusin mewah, kemudian pergi entah ke mana. Paula Abdul cuma bisa melongo. Kontestan idol yang baru saja dikomentari mendadak merah mukanya. Kalau ingin mengusir sumpek, Simon menyewa vila termahal di Pantai Copa Cabana, Rio de Jeneiro. Lalu diajaklah pacar dan mantan pacar-pacarnya untuk berlibur bersama selama berhari-hari.

"Semua orang pasti ingin kaya. Simon adalah orang yang senantiasa berusaha keras menikmati kekayaannya," kata selebriti lain yang iri berat melihat cuplikan tayangan Simon sedang tertawa-tawa sambil memegang gelas sampanye dengan wanita-wanita cantik di sekelilingnya. Simon memang subur-makmur. Semua kekayaannya adalah buah dari kritik-kritik pedasnya. Sekarang, bahkan, banyak program televisi di luar American Idol yang mengajukan tawaran kepadanya. Bunyi proposalnya: kritik kami sepedas-pedasnya!

Di sini, di negeri kita ini, mutu kritik tetap seperti yang dulu-dulu. Kalau terdapat peserta audisi yang penampilan suaranya buruk dan jelas-jelas tak ada kecocokan menjadi penyanyi, juri-juri akan bilang: sorry Anda masih kurang. Cobalah berlatih lagi! Kritik semacam itu kedengarannya lebih merdu di telinga, tapi sesungguhnya sangat menjebak kita. Sepertinya, menjadi artis dan idola bisa diraih dengan tanpa talenta dan latihan sekadarnya. Sebaliknya, ketika bertemu peserta yang kemampuannya lumayan, juri pun tidak segan berkata: luar biasa! Ada semacam kebiasaan manipulasi kenyataan dari kenyataan sesungguhnya.

Kita sangat terbiasa dengan situasi seperti ini. Kritik tidak dilihat dari esensi sesungguhnya. Mengkritik bisa dianggap melecehkan, memojokkan, menyerang, bahkan tak jarang diterjemahkan ingin menjatuhkan. Akibatnya, pemenang audisi Idol-idolan kita pun tak mampu jadi artis dan idola beneran. Semakin banyak saja idola hasil SMS yang begitu cepat kita lupakan namanya. Amatir yang dipuja-puja, seperti petinggi yang selalu ingin dipuji-puji. Ujung-ujungnya, para pejabat langsung terlihat bejatnya begitu tidak lagi menjabat. Saat masih menjabat, betapa steril mereka terhadap kritik. Juga betapa mahir mereka meredam kritik. Yang mengkritik dibungkam pakai sogokan. Uangnya dari duit hasil colongan.

Tengoklah sel-sel dalam penjara kita sekarang. Ruang-ruang pengap berjeruji itu penuh sesak dengan para mantan petinggi. Menteri, pejabat pemprov, para bupati, dan anggota dewan berkumpul jadi satu dengan pencopet terminal bus. Sepertinya, semasa masih menjabat mereka diam-diam mengavling ruang penjara untuk ditempati di masa tuanya.

Tapi, betulkah sekarang kita masih perlu kritik? Bukankah kita merasa lebih nyaman bila Amien Rais tak meneruskan kritiknya soal dana kampanye yang juga mengalir ke tim SBY? Bukankah kita lebih bahagia kalau mereka seolah-olah rukun meski sebenarnya sama-sama curang?

Saya mengenal Slamet Gundono, ki dalang wayang "Amuba" (moveable and untouchable) dari komunitas Wayang Suket, sejak puluhan tahun lalu ketika masih kuliah dulu. Ia adalah arsitek kritik yang sangat rajin merunut masa lalu dan intens memikirkan peradaban yang akan datang yang lebih beradab. Merekam kejadian-kejadian paling kini untuk kemudian direkonstruksi dan digarap menjadi sebuah pertunjukan seni yang bermutu. Kulit yang membalut sekujur tubuhnya ia fungsikan seperti membran untuk mendengar suara paling halus, bahkan terhadap apa yang terjadi dalam dialog-dialog batin wayang-wayang zaman dulu.

Semalam, Ki Slamet Gundono kembali mementaskan karyanya di Festival Seni Surabaya. Ia menyuguhkan serangkai kepingan pengalamannya selama mengelana di Berlin dan pertemuannya dengan Monha, pengamen jalanan dari Tibet yang terbuang dari tanah kelahirannya. Konstruksi wayang, dalam konsep Slamet Gundono adalah sesuatu yang masih bergerak. Apa yang ada sekarang adalah sesuatu yang ia yakini belum berakhir, tapi terus berproses. Itulah kenapa setiap pementasan Wayang Suket selalu aktual. Sebab, panggung selalu ia buka untuk masuknya berbagai elemen dan peristiwa apa saja.

Dalam obrolan saya dengan ki dalang Wayang Suket sehari sebelum pementasan, ada semacam pertarungan rumit dalam pikirannya ketika dalam perjalanan dari rumahnya di Solo menuju Surabaya. Kecamuk itu ialah apakah ia akan memasukkan peristiwa-peristiwa menyedihkan yang terjadi beberapa hari ini ke dalam pementasannya atau tidak? Menurut dia, Choirul, bocah Pasuruan berusia lima tahun yang dadanya robek menganga oleh peluru aparat, adalah sesuatu yang sangat-sangat dramatis dan memilukan. Sungguh jauh lebih dramatis dibanding pentas kesenian mana pun.

Kalau terhadap dada menganga dan rasa sakit si bocah ini saja para jenderal kita tak tersentuh hatinya, apakah terhadap kritik masih mempan? Kritik dalam bentuk kesenian lagi... (leak@jawapos.com)


Filsafat Paku Beton


Oleh:
Leak Koestiya

Ada dua jenis paku beton. Masing-masing punya filsafat yang berbeda. Jenis pertama, warnanya putih keabuan. Paku ini akan bengkok bila tak mampu menancap di tiang atau dinding beton saat dihantam palu. Yang kedua, warnanya hitam. Paku ini akan patah bila tak kuat menahan pukulan palu, sementara beton begitu kerasnya. Saat si paku menjadi bengkok ataupun patah adalah saat di mana kita sedang kecewa. Jengkel karena keringat menguap sia-sia namun tanpa hasil apa-apa.

Saya patah arang juga dengan tembok cor-coran yang terlewat keras begini. Gagal menggantungkan lukisan bunga di ruang dapur karena gagal menancapkan paku di dindingnya. Pikir-pikir, kita memang butuh rumah yang tidak rapuh dinding-dindingnya. Tapi rasanya, tak perlu terlalu keras seperti batu candi. Agar masih ada pori-pori tersisa yang memungkinkan sebuah paku bisa menyusup di celah-celahnya. Kurang percaya, sekali lagi saya mencoba meraba dinding itu. Ohoi... kerupuk empuk, watu atos. Koruptor gemuk, rakyat ngowos!

Orang Surabaya biasa menyebut koruptor, garong, maling, preman, tukang tadah, maupun pencoleng kebal hukum yang bertebaran di negeri ini sebagai watu alias batu. Mereka adalah orang-orang yang tak bisa takluk oleh paku dan ketuk palu pengadilan. Mengapa begitu keras dan kebal? Semua elemen yang membuat dirinya menjadi sekeras batu mereka punya. Seperti halnya tiang beton yang terdiri atas campuran semen, koral, pasir kasar, dan rangka kawat besi. Seorang garong atau koruptor ibarat sebatang tubuh yang terdiri atas kenekatan, kelicikan, kepiawaian menyuap hakim, punya backing polisi, uang, termasuk kemampuan membayar pengacara yang tangguh. Makanya, tak gampang menangkap dan menyeret koruptor -lebih-lebih kelas kakap- ke pengadilan.

Yang kita catat dari para presiden kita, baik Habibie, Gus Dur, Megawati, maupun SBY adalah: mereka mengingkari janji untuk mengayunkan palu hukum kepada para koruptor yang menggasak duit rakyat, untuk kemudian mengirimnya ke penjara. Lebih-lebih mereka yang telah kabur keluar negeri bersama harta hasil jarahan. Yang di dalam negeri saja susah ditangkap, apalagi yang di Singapura, Tiongkok, dan Kanada.

Gus Dur sebenarnya seorang yang boleh dibilang punya keseriusan sekaligus menyadari kekerasan beton itu. Sadar betapa perangkat yang menyertainya tak akan mampu memecah para watu, Gus Dur menempuh cara lain. Barangkali tetesan air akan bisa mengikis kerasnya batu.

"Wahai para koruptor, kembalikan saja duit hasil korupsimu kepada negara. Maka aku akan jamin kau tak akan masuk penjara," kata Gus Dur. Kurang lebih begitulah tetesan kalimat waktu itu. Kata-kata Gus Dur itu, meski tidak setajam dan sekuat paku beton, cukup merangsang dan menelusup pori-pori. Setidaknya buat para koruptor yang masih ingin hidup bebas tanpa ancaman pengadilan. Banyak duit itu nyaman, tapi kalau harus hidup dalam penjara apa enaknya. Barangkali begitulah pesannya. Gus Dur berharap kata-katanya mampu merembes dalam pori-pori batu yang keras. Selanjutnya luluhlah hati para koruptor, lalu menyerahkan hartanya untuk negara. Tapi, seperti halnya air yang menetes menempa batu, perlu cukup waktu untuk menggerus sebuah kesadaran. Dan perlu cukup waktu untuk mempercayai kata-kata Gus Dur.

"Siapa tahu setelah duit diserahkan, ternyata para koruptor kemudian diborgol," kata para koruptor dalam hati. "Emangnya gue pikirin. Gitu aja kok repot," kata Gus Dur seperti biasanya.

Sayangnya, Gus Dur keburu digusur, sementara para koruptor masih mikir-mikir dan belum percaya betul akan kata-katanya.

Sekarang kita seperti menyaksikan paku-paku beton sedang bengkok dan memble melawan batu. Meski belum dibubarkan, kini telah habis masa tugas Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor). Terdiri atas 45 anggota, tim ini dilantik Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka pada 4 Mei 2005. Dalam keppres disebutkan, masa tugas Timtastipikor adalah dua tahun dan dapat diperpanjang apabila diperlukan.

"Tak usah diperpanjang. Lebih baik bubarkan saja Timtastipikor. Karena pemberantasan korupsi berjalan begitu lambannya," kata Koordinator ICW Teten Masduki. Kekecewaan Teten adalah kekecewaan kita yang lama.

Tak hanya lamban, tapi juga pilih-pilih. Maka, pantas saja jika ada tersangka kasus korupsi yang merasa dikerjai penguasa sekarang. Si tersangka merasa, apa yang dilakukan SBY dalam memberantas tindak korupsi tak lebih dari operasi tebang pilih semata. Seorang tersangka merasa dibabat bukan karena telah menjadi benalu yang merugikan negara. Tapi, disebabkan: sebagai benalu dia menempel pada pohon-pohon yang ditanam dan disiram oleh rezim sebelumnya. Padahal, rezim sekarang pun potensial menciptakan benalu serupa.

Terus, kapan tembok korupsi yang kukuh tinggi menjulang itu bakal roboh oleh hantaman palu yang mengayun sekeras-kerasnya? Tanda-tandanya belum ada. Apalagi filsafatnya. (leak@jawapos.com)