Rabu, 15 Agustus 2007

Jalan Hidup dan Jalan Raya


Kolom Leak Koestiya

Mengenang komedian tambun, Taufik Savalas, adalah mengenang indahnya sebuah jalan hidup seorang manusia sekaligus mengingatkan getirnya jalan raya yang kita punya. Jalan indah dan jalan getir sebenarnya adalah dua arah yang berbeda. Tapi, di negeri ini dua arah itu tiba-tiba bisa berpapasan kapan saja.

Untuk melihat jalan indahnya, marilah kita coba tengok masa lalu Taufik. Tumbuh sebagai anak-anak di sebuah gang sempit dan padat penghuni di daerah Jembatan Lima, dia seperti debu yang sepanjang waktu diempas dan diterpa ganasnya kehidupan ibu kota. Hidup sebagai selebriti seperti yang biasa kita saksikan di televisi tentu sebuah keindahan. Jalan panjang yang dilalui Taufik sebelum menjadi selebriti adalah keindahan lainnya. Sebagai seorang manusia, dia sungguh sebuah paket komplet. Di tangannya tergenggam pahit, getir, dan manis sekaligus. Pernah menjadi tukang jaga penitipan sandal dan sepatu di sebuah masjid, bergelantungan sebagai kernet angkutan kota, bahkan tukang aduk pasir-semen. Untuk menyambung hidup yang tidak lucu itu, Taufik juga melalui jalan berat sebagai tukang batu dan kuli bangunan.

Bakat humor yang sangat kuat memang akhirnya membawanya menjadi komedian papan atas di negeri ini setelah sukses sebagai pembawa acara canda-tawa di radio Suara Kejayaan. Masa lalunya yang pahit adalah juga asetnya ketika dia mengenyam hidup manis. "Saya berusaha untuk terus hidup seimbang," katanya suatu kali saat muncul di tayangan infotainment. Prinsip hidup seimbang itulah yang membuat Taufik menjadi berbeda dengan kebanyakan selebriti lainnya. Dia tak pernah kedengaran berurusan dengan gosip miring seperti teman-teman sejawatnya yang tak henti-henti berburu hura-hura serta kesenangan, khas selebriti.

Tapi, begitulah jalan hidup. Dan, beginilah jalan raya kita. Hidup bisa dititi dengan segenap langkah kehati-hatian jengkal demi jengkal. Tapi, jalan raya kita bisa mempraktikkan ketidakberadaban semaunya. Di jalan raya, sopir-sopir bus yang ugal-ugalan bisa tiba-tiba menjadi penentu hidup-mati para penumpang yang diangkutnya. Para sopir itu bisa seketika mengubah para penumpang yang duduk di belakangnya menjadi seperti ayam potong yang sedang diangkut menuju tempat eksekusi. Rem blong, sopir ngantuk, radiator bocor, serobot jalur sembarangan adalah penyebab celaka yang setiap saat kita dengar. Tak peduli siapa pun dan berapa pun nyawa yang telah direnggut, jalanan kita terus mempertontonkan wataknya yang keji dan ganas.

Semewah apa pun mobil Anda, sepanjang ia lebih kecil dibandingkan dengan kendaraan yang sedang berpapasan dengan Anda, minggirlah. Aturan dan sopan santun di jalan raya kita nyaris serupa hukum rimba dalam hutan belantara. Sedan adalah rusa, truk dan bus adalah harimaunya. Kalau Anda berkendara antarkota dengan city car atau mungkin sepeda motor, bersiaplah diperlakukan seperti kelinci yang setiap saat digasak para serigala jalan raya. Lihatlah senyum para sopir bus dan truk pengangkut tanah itu. Mereka seperti di puncak bahagia ketika mobil-mobil kecil yang dipapasnya pontang-panting ketakutan. Sebagai penumpang bus, kita memang cuma bisa ketakutan. Selebihnya adalah penyerahan hidup-mati kepada sopir.

Setiap tahun pada musim liburan sekolah, selalu saja terjadi serombongan anak sekolah yang melayang nyawanya karena bus yang mereka tumpangi masuk jurang, terbakar, tabrakan atau lainnya. Anak-anak yang ingin bergembira itu seperti menjadi pemuas sopir-sopir ceroboh dan bus tak layak jalan, tapi getol mengejar setoran. Nyawa para penumpang dianggap tak lebih sekadar komponen pelengkap kebiadaban jalan raya yang barbar.

Sepulang dari tanah suci beberapa waktu lalu, Taufik seperti berusaha untuk terus merapikan dan menata hidupnya. "Saya akan mengirit popularitas saya. Akan saya batasi jam tayang di televisi. Dua kali dalam seminggu muncul di televisi cukuplah," katanya dalam sebuah wawancara. Kalau artis dan pelawak-pelawak lain berusaha mengejar setoran dan jam tayang, Taufik justru sebaliknya. Ada semacam keinginan untuk mengerem laju hidup di tengah gempita panggung pertunjukan dan layar kaca.

Tapi, niat untuk mengerem tersebut, ternyata, terasa begitu mendadak dan tiba-tiba. Jalan panjang yang dia titi dan mulai dibangun dari sebuah gang sempit di Jembatan Lima itu kini terpangkas di sebuah ruas jalan raya di Purworejo. Mobil yang dia tumpangi sepulang mengisi acara lucu-lucuan dari Jogja dilibas truk pengangkut semen yang main salip seenaknya sehingga remuk tak berbentuk. Taufik tewas dalam tabrakan tersebut. "Saya ikhlas karena Tuhan mungkin punya kehendak lain," kata Hajah Rukaesih, ibundanya. Di jalan raya yang dipenuhi bus, truk, dan berbagi jenis kendaraan yang pengemudinya tak beretika, nyawa nyaris tak ada artinya. Siapa pun kita.

Terus, kapan kebiasaan brutal dan tak kenal etika di jalan raya itu bisa kita rem dan hentikan? Sepertinya, jalan masih jauh... (leak@jawapos.com)

Tidak ada komentar: