Rabu, 15 Agustus 2007

Filsafat Paku Beton


Oleh:
Leak Koestiya

Ada dua jenis paku beton. Masing-masing punya filsafat yang berbeda. Jenis pertama, warnanya putih keabuan. Paku ini akan bengkok bila tak mampu menancap di tiang atau dinding beton saat dihantam palu. Yang kedua, warnanya hitam. Paku ini akan patah bila tak kuat menahan pukulan palu, sementara beton begitu kerasnya. Saat si paku menjadi bengkok ataupun patah adalah saat di mana kita sedang kecewa. Jengkel karena keringat menguap sia-sia namun tanpa hasil apa-apa.

Saya patah arang juga dengan tembok cor-coran yang terlewat keras begini. Gagal menggantungkan lukisan bunga di ruang dapur karena gagal menancapkan paku di dindingnya. Pikir-pikir, kita memang butuh rumah yang tidak rapuh dinding-dindingnya. Tapi rasanya, tak perlu terlalu keras seperti batu candi. Agar masih ada pori-pori tersisa yang memungkinkan sebuah paku bisa menyusup di celah-celahnya. Kurang percaya, sekali lagi saya mencoba meraba dinding itu. Ohoi... kerupuk empuk, watu atos. Koruptor gemuk, rakyat ngowos!

Orang Surabaya biasa menyebut koruptor, garong, maling, preman, tukang tadah, maupun pencoleng kebal hukum yang bertebaran di negeri ini sebagai watu alias batu. Mereka adalah orang-orang yang tak bisa takluk oleh paku dan ketuk palu pengadilan. Mengapa begitu keras dan kebal? Semua elemen yang membuat dirinya menjadi sekeras batu mereka punya. Seperti halnya tiang beton yang terdiri atas campuran semen, koral, pasir kasar, dan rangka kawat besi. Seorang garong atau koruptor ibarat sebatang tubuh yang terdiri atas kenekatan, kelicikan, kepiawaian menyuap hakim, punya backing polisi, uang, termasuk kemampuan membayar pengacara yang tangguh. Makanya, tak gampang menangkap dan menyeret koruptor -lebih-lebih kelas kakap- ke pengadilan.

Yang kita catat dari para presiden kita, baik Habibie, Gus Dur, Megawati, maupun SBY adalah: mereka mengingkari janji untuk mengayunkan palu hukum kepada para koruptor yang menggasak duit rakyat, untuk kemudian mengirimnya ke penjara. Lebih-lebih mereka yang telah kabur keluar negeri bersama harta hasil jarahan. Yang di dalam negeri saja susah ditangkap, apalagi yang di Singapura, Tiongkok, dan Kanada.

Gus Dur sebenarnya seorang yang boleh dibilang punya keseriusan sekaligus menyadari kekerasan beton itu. Sadar betapa perangkat yang menyertainya tak akan mampu memecah para watu, Gus Dur menempuh cara lain. Barangkali tetesan air akan bisa mengikis kerasnya batu.

"Wahai para koruptor, kembalikan saja duit hasil korupsimu kepada negara. Maka aku akan jamin kau tak akan masuk penjara," kata Gus Dur. Kurang lebih begitulah tetesan kalimat waktu itu. Kata-kata Gus Dur itu, meski tidak setajam dan sekuat paku beton, cukup merangsang dan menelusup pori-pori. Setidaknya buat para koruptor yang masih ingin hidup bebas tanpa ancaman pengadilan. Banyak duit itu nyaman, tapi kalau harus hidup dalam penjara apa enaknya. Barangkali begitulah pesannya. Gus Dur berharap kata-katanya mampu merembes dalam pori-pori batu yang keras. Selanjutnya luluhlah hati para koruptor, lalu menyerahkan hartanya untuk negara. Tapi, seperti halnya air yang menetes menempa batu, perlu cukup waktu untuk menggerus sebuah kesadaran. Dan perlu cukup waktu untuk mempercayai kata-kata Gus Dur.

"Siapa tahu setelah duit diserahkan, ternyata para koruptor kemudian diborgol," kata para koruptor dalam hati. "Emangnya gue pikirin. Gitu aja kok repot," kata Gus Dur seperti biasanya.

Sayangnya, Gus Dur keburu digusur, sementara para koruptor masih mikir-mikir dan belum percaya betul akan kata-katanya.

Sekarang kita seperti menyaksikan paku-paku beton sedang bengkok dan memble melawan batu. Meski belum dibubarkan, kini telah habis masa tugas Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor). Terdiri atas 45 anggota, tim ini dilantik Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka pada 4 Mei 2005. Dalam keppres disebutkan, masa tugas Timtastipikor adalah dua tahun dan dapat diperpanjang apabila diperlukan.

"Tak usah diperpanjang. Lebih baik bubarkan saja Timtastipikor. Karena pemberantasan korupsi berjalan begitu lambannya," kata Koordinator ICW Teten Masduki. Kekecewaan Teten adalah kekecewaan kita yang lama.

Tak hanya lamban, tapi juga pilih-pilih. Maka, pantas saja jika ada tersangka kasus korupsi yang merasa dikerjai penguasa sekarang. Si tersangka merasa, apa yang dilakukan SBY dalam memberantas tindak korupsi tak lebih dari operasi tebang pilih semata. Seorang tersangka merasa dibabat bukan karena telah menjadi benalu yang merugikan negara. Tapi, disebabkan: sebagai benalu dia menempel pada pohon-pohon yang ditanam dan disiram oleh rezim sebelumnya. Padahal, rezim sekarang pun potensial menciptakan benalu serupa.

Terus, kapan tembok korupsi yang kukuh tinggi menjulang itu bakal roboh oleh hantaman palu yang mengayun sekeras-kerasnya? Tanda-tandanya belum ada. Apalagi filsafatnya. (leak@jawapos.com)


Tidak ada komentar: