Rabu, 15 Agustus 2007

Jeda


Leak Koestiya

Jaya Suprana pernah mencoba memberi pelajaran tentang arti penting sebuah jeda. Bos Jamu Jago ini menyelipkan esensi empty space di awal konser pianonya yang digelar pada awal tahun sembilan puluhan di Semarang. Waktu itu, ketika hall pertunjukan telah hening dan semua audience telah siap menerima alunan denting piano, Jaya Suprana memecah keheningan ruangan dengan satu pencetan tuts piano saja. Setelah itu, berhenti. Ruangan jadi hening seketika untuk beberapa lama, penonton pada bertanya-tanya.

Selanjutnya, kelirumolog yang pintar berhumor itu lantas mengguyur seluruh ruangan dengan buih-buih nada lewat jemarinya yang menari memainkan tuts-tuts piano. Kenapa Jaya Suprana berhenti untuk beberapa saat setelah menekan tuts piano di awal pertunjukan?

Akhirnya memang terjawab setelah konser usai. Katanya, orang telah punya persepsi yang keliru terhadap jeda. Jeda sering dipahami sebagai sebuah kekosongan belaka. Padahal, menurut Jaya Suprana, sebuah irama bisa terbentuk karena ada jeda antara nada yang satu dengan nada lain. Dalam kosong sebenarnya akan ada isi dan arti kalau kita bisa memaknai.

Hidup di kota besar adalah hidup dengan irama nonstop, sibuk, pekak, cenderung keras, dan seperti tanpa jeda. Berangkat kerja pagi-pagi, berdesakan di jalan, bersaing di kantor, lembur, tidur sebentar, lalu pagi lagi, kerja lagi. Ketika datang jeda pada saat cuti, misalnya, kita mungkin pergi ke tempat terpencil yang jauh. Tapi, tetap dengan laptop yang terus terkoneksi dengan internet dan dengan jaminan jangkauan sinyal operator seluler. Maka, di bungalow yang sunyi itu kita tetap dalam koneksi modernitas yang terus terhubung. Tetap bisa in touch dengan progress pekerjaan, balas email, buka portal news, dan seterusnya. Cuti tapi sibuk. Bahkan, ada yang bersyukur karena diopname di rumah sakit. He he... Lumayan bisa tiduran sambil baca-baca.

Di Jakarta lebih-lebih lagi. Orang bisa ngomel-ngomel lantaran terjebak kemacetan di jalan tol, padahal matahari belum terbit. Siang hari marah-marah lagi. Sebab, gagal menemui relasi karena di jalan berpapasan dengan iring-iringan demonstran. Beberapa bulan terakhir Jakarta telah menunjukkan irama hidup keseharian yang menyedihkan.

Ketika datang week end, semua ruas jalan di ibu kota sungguh mirip garasi panjang yang penuh sesak. Jalanan penuh mobil, tapi nyaris tak beringsut ke mana-mana. Pada Jumat orang beramai-ramai ingin meninggalkan Jakarta untuk berlibur ke mana saja. Mereka semua butuh semacam jeda. Tapi, lama-lama makin susah didapatnya.

Setelah kerja lembur hingga jam sembilan malam, para workaholic ingin mengubur kepenatan dengan mendatangi tempat-tempat dugem yang bertebaran di mana-mana. Tapi, tempat-tempat dugem itu baru buka menjelang tengah malam. Artinya, ada jeda waktu kira-kira tiga jam mulai pukul sembilan hingga pukul dua belas malam yang mereka anggap percuma.

Jeda inilah yang dibidik Cilandak Town Square (orang Jakarte menyebutnye Citos) sebagai pasar baru dari sebuah fenomena kebutuhan hidup modern di Jakarta. Kafe-kafe di mal itu dibuka hingga tengah malam agar orang bisa nongkrong guna menyambung ritme kerja lembur dan dugem sampai pagi. Di Jakarta, selama dua puluh empat jam semua bisa penuh terisi. Tanpa ada jeda, tanpa ada sunyi.

Dalam jagat kelir pewayangan, selalu ada jeda di tengah pertikaian antara Pandawa dan Kurawa yang suntuk dan bertele-tele. Di saat jeda tiba, akan muncul Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong dengan segala keleluasaannya. Punakawan itu muncul untuk memaknai apa arti jeda yang sebenarnya. Mereka bercanda sambil mengkritik dan mengevaluasi bendoronya. Semua bisa guyon tanpa ketersinggungan apa-apa. Jeda di sini saling dipakai untuk melihat siapa masing-masing dari kita sebenarnya, apa yang telah kita lakukan. Masa jeda ini dimaknai sebagai sebuah interlude (selingan) yang memang menjadi kebutuhan bersama. Perjalanan masih berliku-liku dan panjang. Perang melawan korupsi, ketidakadilan belumlah berakhir.

Dalam minggu ini konon akan ada reshuffle kabinet sebagai jawaban atas pertanyaan akan kinerja Presiden SBY. Reshuffle adalah semacam jeda di tengah lima tahun kepemimpinan presiden asal Pacitan itu. Sebagai rakyat, kita sebenarnya hanya ingin melihat jeda itu menjadi semacam ruang kosong yang memungkinkan semua bendoro kita untuk sejenak saling melihat diri masing-masing. Tanpa perlu ada ketersinggungan jika dievaluasi, tanpa perlu berontak kalau harus menanggalkan predikat menteri.

Kalau reshuffle sekadar tukar-menukar posisi, pemerataan jatah jadi menteri, kita pasti tak akan mendapatkan makna apa-apa dari jeda lima tahun pemerintahan SBY kali ini. Cuma omong kosong belaka. (leak@jawapos.com)

Tidak ada komentar: