Rabu, 15 Agustus 2007

Musim Mencari Sekolah


Kolom Leak Koestiya

Musim durian baru saja berlalu. Kalau toh di pinggir-pinggir jalan masih kita jumpai ada satu-dua pedagang kaki lima yang menggantungkan durian dagangannya, pastilah itu durian terakhir yang tersisa di musim kali ini. Musim sedang berganti.

Sekarang, tibalah saatnya musim anak mencari sekolah. Antara durian dan anak sekolah sebenarnya tak ada hubungan. Tapi, soal perlakuan, kadang ada kesamaan. Kita sering heboh -baik soal anak maupun durian- ketika musimnya sedang tiba saja. Baunya suka nggak keruan menyebar ke mana-mana.

Inilah saatnya orang tua, terutama yang hendak mencarikan sekolah untuk anaknya, mengeluh pusing dan banyak yang pontang-panting ke sana kemari mencari pinjaman dana.

Tentu tidak semua. Tapi, topik tentang mencarikan sekolah anak memang lagi musimnya dan hangat-hangatnya. Sejauh mana kita bersungguh-sungguh memikirkan sekolah anak dan tidak menganggapnya sebagai sebuah acara musiman semata? Masing-masing orang tua berbeda-beda.

Ada orang tua yang lemes gara-gara batal ganti audio mobil karena harus membayar uang pangkal sekolah anaknya. Keinginan mengganti perangkat audio mobil adalah keinginan lama. Tapi, membayar biaya masuk sekolah anak adalah sesuatu yang sepertinya datang begitu tiba-tiba.

"Biasanya nggak pernah saya terlambat membayar tagihan kartu kredit. Tapi, bulan ini nggak tahu deh. Habis, anakku masuk sekolah sekarang," ujar seorang bapak muda kepada temannya.

Semua orang tua tentu mencintai anaknya, tapi sering gagal untuk sungguh-sungguh menjalankan tool aplikasinya. Dan, ketika menyangkut biaya sekolah, kebutuhan jenis itu sering masuk kategori biaya lain-lain. Ia menjadi semacam biaya tak terduga saja.

Ini memang musim anak mencari sekolah. Kantor pegadaian dan bank perkreditan rakyat disesaki nasabah pada hari-hari ini. Karena memang musimnya, kalung, televisi, atau BPKB pun ikut "disekolahkan". Di kantin, saya menjumpai percakapan mencengangkan tentang SD swasta full day yang SPP-nya jauh lebih mahal ketimbang uang semester mahasiswa (negeri, tentu!). Belum jumlah uang sumbangannya.

Menyebut uang sumbangan sekolah, kita bisa lebih tercengang lagi. Sebab, di musim anak mencari sekolah, kata sumbangan bisa punya arti khas dan unik.

Logikanya, sekolah-sekolah yang perlu sumbangan besar adalah sekolah yang dindingnya rentan roboh, plafonnya rontok, bangku-bangkunya reyot, dan bocor saat hujan karena gentingnya pada melorot. Kenyataannya justru sebaliknya.

Gedung-gedung sekolah yang megah dan ruangan-ruangannya yang berpendingin, kewajiban menyumbang bagi orang tua calon siswa ditarik sebanyak-banyaknya. Sekolah yang lebih kreatif dan tidak vulgar menarik sumbangan menemukan cara yang elite. Sebagai orang tua calon siswa, ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi saat mendaftarkan anaknya.

Yaitu, orang tua calon siswa harus menjadi member sebuah perkumpulan golf yang menjadi satu dalam sebuah jaringan korporat. Nah, untuk menjadi anggota golf club, mereka harus menyediakan uang setidaknya seratus juta. Itu bisa lebih, bergantung jenis keanggotaan Anda di golf club itu. Apakah Anda ingin menjadi pemegang gold card, platinum, atau lainnya.

Itu baru soal biaya, belum bicara sistem. Menurut si cantik Sophia Latjuba dan kawan-kawan dalam Education Forum yang memenangkan gugatan atas pelaksanaan ujian nasional (unas) oleh pemerintah, banyak siswa terganggu secara psikologi dan mental akibat unas. Kalau memang benar kenyataannya, oh... betapa menyedihkan.

Sebagai orang tua, tentu kita semua pernah merasakan sekolah. Tapi, sekolah pada zaman kita memang tidak seheboh sekarang. Betapa makin berat biaya yang harus ditanggung orang tua murid. Juga, betapa rumit sebenarnya hidup yang harus dijalani seorang siswa. Sekolah bukan persoalan pelajaran dalam kelas semata.

Di Kota Tegal, seorang siswi bisa ditemukan tewas gantung diri gara-gara tak kuat menanggung malu akibat diejek teman-temannya. "Hari gini masih ada orang nggak punya handphone..." ledek teman-teman sekelasnya.

Pada zaman ini, tak ber-handphone adalah beban rasa malu yang tak tertahankan bagi seorang siswa. Dibelikan handphone tapi tak dilengkapi fitur MP3 dan kamera, masih ngambek juga. Punya HP berkamera, malah dipakai merekam adegan porno bersama temannya. Itu sungguh tak berkaitan dengan kurikulum atau sistem pendidikan kita. Tapi, sangat nyata sebagai wajah kehidupan siswa di sekolahan sekarang.

Betapa sering kita mendengar cerita seorang anak yang mogok sekolah karena tak dibelikan sepeda motor oleh orang tuanya. Sementara orang tuanya memang benar-benar tak mampu membelikan. Pada level yang lebih tinggi, seorang pelajar SMA bisa stres berat gara-gara mobilnya kalah keren dari temannya.
***
Dalam Rich Dad Poor Dad karangan Robert T. Kiyosaki yang begitu laris dan menggemparkan, bicara tentang sekolah hingga setinggi-tingginya, menjadi kutu buku, berkacamata minus tebal, bergelar banyak adalah hal percuma saja. Sepanjang kita tak sukses mencari dan menghasilkan banyak uang.

Oleh Kiyosaki, antara sekolah dan kepintaran mencari duit ibarat sebuah jalan yang ujungnya terbelah menjadi dua. Jalur yang satu menuju sekolah hingga setinggi dan sepandai-pandainya, jalur yang satu lagi adalah rute mencari uang sebanyak-banyaknya.

Kata Rich Dad (ayah kaya) dalam buku itu, betapa kasihan seorang profesor doktor yang semua waktunya dihabiskan untuk sekolah hingga lupa cara mencari duit. Tiap bulan menerima gaji kecil dan sepanjang hidup dia jalani dengan uang pas-pasan saja.

Sebagai orang tua anak saya yang sedang mencari sekolah, rasanya saya tidak terprovokasi Rich Dad Poor Dad karangan Kiyosaki yang begitu menarik dan menghasut itu. Tapi, sekarang saya memang sedang bingung memikirkan ke mana anak saya harus masuk sekolah.

Memang ribet kalau sebagai orang tua juga harus ikut memikirkan sistem pendidikan kita yang memang tak kunjung membaik itu. Maka, pilihannya adalah menyekolahkan anak ke sekolah berstandar internasional yang pasti mahal. Tapi, seratus juta rupiah sebagai uang sumbangan juga bukan jumlah yang gampang didapat. Lagian, saya juga tidak hobi golf.

Saat saya bingung mencari sekolah seperti itu, sungguh saya membayangkan anak saya bersekolah di SD inpres seperti saya dulu. Tiap pagi berjalan kaki tanpa sepatu dari rumah ke sekolah yang jaraknya lebih dari empat kilometer. Melewati pematang sawah, sepulang sekolah langsung nyebur ke kali tanpa perlu melepas celana dan baju. Ohoi... ndeso sekaligus katrok!

Juni bulan depan adalah bulan penerimaan rapor untuk para siswa. Betapa banyak orang tua yang bakal memarahi anaknya karena nilai merah atau ranking-nya turun. Terus terang, saya juga telah membayangkan rapor anak saya yang sekarang baru mau masuk SD itu. Saya seperti bernostalgia ketika melihat nilai rapornya yang funky karena begitu banyak nilai merahnya. He he... persis rapor bapaknya ketika sekolah dulu! (leak@jawapos.com)

Tidak ada komentar: