Rabu, 15 Agustus 2007

Simon Cowell, Amien Rais, dan Slamet Gundono

Leak Koestiya

"Buat apa membeli seikat bunga kalau mampu membeli payudara."
Simon Cowell, juri American Idol.

Simon adalah pengkritik yang sangat pedas dan tajam. Kadang-kadang ia kita rasakan sebagai juri yang angkuh dan sombong. Makna kalimat yang ia ucapkan di atas adalah kekuasaan. Kekuasaan laki-laki yang merasa sangat perkasa karena banyak duit atas perempuan. Sebagai miliarder pemegang hak paten American Idol -oleh majalah Forbes, Simon ditempatkan dalam deretan 100 selebriti terkaya di dunia- Simon Cowell adalah penguasa pemegang kuasa. Raja di altar keraton kultur pop yang bisa bilang apa saja terhadap peserta audisi calon bintang idola Amerika. Uangnya melimpah, mengalir dari berbagai stasiun televisi yang tersebar di berbagai penjuru bumi. Dolar, rupiah, yen, euro seperti terus bermuara ke dompetnya yang kian tebal hingga tak bisa ditekuk. Meski, kadang ia tak berselera untuk duduk di meja panel penjurian.

"Malam ini saya seperti sedang di depan kamar mandi dan mendengarkan orang bernyanyi dengan kacau," kata Simon suatu kali mengomentari kontestan yang tampil pas-pasan. Ia lalu cuek meninggalkan meja penjurian menuju limusin mewah, kemudian pergi entah ke mana. Paula Abdul cuma bisa melongo. Kontestan idol yang baru saja dikomentari mendadak merah mukanya. Kalau ingin mengusir sumpek, Simon menyewa vila termahal di Pantai Copa Cabana, Rio de Jeneiro. Lalu diajaklah pacar dan mantan pacar-pacarnya untuk berlibur bersama selama berhari-hari.

"Semua orang pasti ingin kaya. Simon adalah orang yang senantiasa berusaha keras menikmati kekayaannya," kata selebriti lain yang iri berat melihat cuplikan tayangan Simon sedang tertawa-tawa sambil memegang gelas sampanye dengan wanita-wanita cantik di sekelilingnya. Simon memang subur-makmur. Semua kekayaannya adalah buah dari kritik-kritik pedasnya. Sekarang, bahkan, banyak program televisi di luar American Idol yang mengajukan tawaran kepadanya. Bunyi proposalnya: kritik kami sepedas-pedasnya!

Di sini, di negeri kita ini, mutu kritik tetap seperti yang dulu-dulu. Kalau terdapat peserta audisi yang penampilan suaranya buruk dan jelas-jelas tak ada kecocokan menjadi penyanyi, juri-juri akan bilang: sorry Anda masih kurang. Cobalah berlatih lagi! Kritik semacam itu kedengarannya lebih merdu di telinga, tapi sesungguhnya sangat menjebak kita. Sepertinya, menjadi artis dan idola bisa diraih dengan tanpa talenta dan latihan sekadarnya. Sebaliknya, ketika bertemu peserta yang kemampuannya lumayan, juri pun tidak segan berkata: luar biasa! Ada semacam kebiasaan manipulasi kenyataan dari kenyataan sesungguhnya.

Kita sangat terbiasa dengan situasi seperti ini. Kritik tidak dilihat dari esensi sesungguhnya. Mengkritik bisa dianggap melecehkan, memojokkan, menyerang, bahkan tak jarang diterjemahkan ingin menjatuhkan. Akibatnya, pemenang audisi Idol-idolan kita pun tak mampu jadi artis dan idola beneran. Semakin banyak saja idola hasil SMS yang begitu cepat kita lupakan namanya. Amatir yang dipuja-puja, seperti petinggi yang selalu ingin dipuji-puji. Ujung-ujungnya, para pejabat langsung terlihat bejatnya begitu tidak lagi menjabat. Saat masih menjabat, betapa steril mereka terhadap kritik. Juga betapa mahir mereka meredam kritik. Yang mengkritik dibungkam pakai sogokan. Uangnya dari duit hasil colongan.

Tengoklah sel-sel dalam penjara kita sekarang. Ruang-ruang pengap berjeruji itu penuh sesak dengan para mantan petinggi. Menteri, pejabat pemprov, para bupati, dan anggota dewan berkumpul jadi satu dengan pencopet terminal bus. Sepertinya, semasa masih menjabat mereka diam-diam mengavling ruang penjara untuk ditempati di masa tuanya.

Tapi, betulkah sekarang kita masih perlu kritik? Bukankah kita merasa lebih nyaman bila Amien Rais tak meneruskan kritiknya soal dana kampanye yang juga mengalir ke tim SBY? Bukankah kita lebih bahagia kalau mereka seolah-olah rukun meski sebenarnya sama-sama curang?

Saya mengenal Slamet Gundono, ki dalang wayang "Amuba" (moveable and untouchable) dari komunitas Wayang Suket, sejak puluhan tahun lalu ketika masih kuliah dulu. Ia adalah arsitek kritik yang sangat rajin merunut masa lalu dan intens memikirkan peradaban yang akan datang yang lebih beradab. Merekam kejadian-kejadian paling kini untuk kemudian direkonstruksi dan digarap menjadi sebuah pertunjukan seni yang bermutu. Kulit yang membalut sekujur tubuhnya ia fungsikan seperti membran untuk mendengar suara paling halus, bahkan terhadap apa yang terjadi dalam dialog-dialog batin wayang-wayang zaman dulu.

Semalam, Ki Slamet Gundono kembali mementaskan karyanya di Festival Seni Surabaya. Ia menyuguhkan serangkai kepingan pengalamannya selama mengelana di Berlin dan pertemuannya dengan Monha, pengamen jalanan dari Tibet yang terbuang dari tanah kelahirannya. Konstruksi wayang, dalam konsep Slamet Gundono adalah sesuatu yang masih bergerak. Apa yang ada sekarang adalah sesuatu yang ia yakini belum berakhir, tapi terus berproses. Itulah kenapa setiap pementasan Wayang Suket selalu aktual. Sebab, panggung selalu ia buka untuk masuknya berbagai elemen dan peristiwa apa saja.

Dalam obrolan saya dengan ki dalang Wayang Suket sehari sebelum pementasan, ada semacam pertarungan rumit dalam pikirannya ketika dalam perjalanan dari rumahnya di Solo menuju Surabaya. Kecamuk itu ialah apakah ia akan memasukkan peristiwa-peristiwa menyedihkan yang terjadi beberapa hari ini ke dalam pementasannya atau tidak? Menurut dia, Choirul, bocah Pasuruan berusia lima tahun yang dadanya robek menganga oleh peluru aparat, adalah sesuatu yang sangat-sangat dramatis dan memilukan. Sungguh jauh lebih dramatis dibanding pentas kesenian mana pun.

Kalau terhadap dada menganga dan rasa sakit si bocah ini saja para jenderal kita tak tersentuh hatinya, apakah terhadap kritik masih mempan? Kritik dalam bentuk kesenian lagi... (leak@jawapos.com)


Tidak ada komentar: