Rabu, 15 Agustus 2007

Nyabiladiong


Oleh:
Leak Koestiya

Judul ini bukanlah apa-apa. Bukan gabungan suku kata yang dipungut dari tempat terpencil yang jauh dan asing. Ia cuma sebuah ungkapan yang belakangan semakin sering kita dengar: nyambung bila diajak ngomong. Biar kesannya aneh, lantas saya pendekkan. Sesungguhnya, nyabiladiong adalah kebutuhan primitif yang sejak dulu juga ada. Cuma, tidak semendesak sekarang.

Era ini adalah era komunikasi dan aura kebebasan terus bergerak membaik. Era di mana kita sangat dimanja berbagai kemudahan untuk berkomunikasi. Handphone murah, internet dengan speed yang kian tinggi, banyak stasiun televisi, tiket pesawat murah, pulsa murah, bonus SMS gratis, akses kian mudah, dan seterusnya.

Makin hari, kita semakin gampang untuk saling berhubungan. Tapi, semakin sulit untuk saling memahami.

Pada era serbabebas ini, kita juga begitu leluasa bersikap serta memilih. Siapa saya, dia, mereka, dan siapa Anda adalah individu-individu yang semakin kuat perbedaannya. Pemahaman bahwa setiap kita adalah makhluk yang memang berbeda-beda, tentu kita tahu. Tapi, sekarang kian nyata faktanya.

"Saya adalah saya," kata saya. "Saya bukanlah fotokopi bapak saya," kata yang lain. Atau, misalnya lagi, jadilah diri Anda sendiri. Maka, seorang putri yang beranjak remaja akan berkata, "Ma, saya memang anak Mama, tapi nggak bisa kalau harus seperti Mama..."

Kata Khalil Gibran, anakmu bukanlah anakmu. Dan, istrimu memang istrimu. Tapi, kau tak berhak segalanya atas istrimu. Tak lagi musim untuk memaksakan seleranya agar sama. Tak boleh kita kasari jika pendapatnya berbeda. Mau kribo, mau gundul, mau pirang, mau seksi, semua terserah gue. Suka-suka lah.

Kalau kita mau menengok ke belakang, tentu akan terasa: betapa telah sangat berubah semuanya. Sekarang, untuk menjadi artis, tak lagi cantik memukau atau tampan menawan sebagai syaratnya. Bisa seperti Ucok Baba, boleh kacau seperti Thukul Arwana, atau kayak Agnes Monica. Terserah! Yang penting, sebagai individu, sekuat dan sehebat apa kemampuan Anda. Semua punya peluang yang sama, meski jenisnya tak sama. Anjuran tentang keseragaman adalah sesuatu yang terus merosot kepopulerannya.

Paradoksnya, kita semakin sulit menemukan pasangan yang punya kesamaan, bahkan untuk beberapa hal saja. Pasangan untuk menjadi suami istri, sekadar partner ngobrol, teman dekat, tempat curhat, pacar, teamwork, dan lain-lain.

Tanda-tanda krisis saling sulit memahami itu sangat gampang dikenali. Di mana-mana, orang mengidentifikasi diri dan mengenali yang lain dengan cara membentuk kelompok, peguyuban, serta semacam klub-klub. Terkadang, mereka harus berkumpul dari tempat yang jauh terpencar-pencar hanya karena ingin rumpi-rumpian.

Lewat kesenangan dan kesamaan aktivitas, kemudahan-kemudahan untuk berinteraksi mereka bangun. Siapa saya dan siapa Anda menjadi lebih mudah dan cepat dikenali. Klub Penggemar Penthol Baso, Asosiasi Maniak Tempe Penyet, Komunitas Pendaki Gunung Kembar, Klub Pemancing Sandal Jepit Laut Dalam, Perkumpulan Pemilik Vespa Lawas, dan lain-lain. Di komunitas itu, mereka bisa sangat gayeng saat saling ngomong.

Artis-artis selalu lebih transparan dan afdal dalam merefleksikan kenyataan tersebut. Ketika si cantik ini dan si tampan itu ditanya presenter infotainment "apa yang membuat Anda bisa jalan sama dia, lalu berencana hidup berumah tangga?" Jawaban generik yang diucapkan adalah karena dia orangnya enak atau asyik atau menyenangkan karena nyambung bila diajak ngomong.

Apa yang membuat pasangan itu nyambung bila diajak ngomong? Bisa kesetaraan pemikiran, bisa kesamaan kesenangan. Tapi, yang paling esensial adalah adanya saling pemahaman. Seorang pemilik vespa kuno bisa begitu cekatan menolong manakala berpapasan dengan pengendara vespa lain yang sedang mogok di jalan. Pengendara motor jenis lain bisa cuek-cuek saja.

Dalam skala yang lebih besar dan legal, kita mengelompok dalam banyak partai politik. Betapa beragam partai politik kita miliki. Betapa banyak perbedaan yang ada di sini. Betapa besar pemahaman yang sebenarnya kita butuhkan.

Presiden dan wakil presiden termasuk pasangan yang juga begitu baik menunjukkan adanya krisis ketidaknyambungan. Sebab, mereka memang merupakan representasi dari partai yang berbeda. Presiden ngomong begini, wapres ngomong begitu. SBY bersikap begini, Kalla bersikap sebaliknya.

Tapi, keasyikan tiba-tiba muncul begitu mereka berada di tengah-tengah komunitas partainya. SBY dengan Partai Demokrat-nya, Jusuf Kalla dengan Golkar-nya. Semua serbacocok dan nyambung adanya. Sejalan setujuan, sevisi sepenanggungan. Ohoi... ulukuthuk-olokothok, sayuk rukun amargo bolo (rukun karena teman).

Konon, dibutuhkan jiwa kenegarawanan sejati untuk bisa menanggalkan semangat kelompok dan perkoncoan. Agar, bisa memahami serta melihat arti yang lebih besar. Nah, kalau soal ngomong saja sulit nyambung, apalagi soal kerja mengurus negara. Pak SBY-Kalla, please jangan gitu dong, ah... Kita capek deh!

Ngomong apa saya ini, Anda nyabiladiong? (leak@jawapos.com)

Tidak ada komentar: