Rabu, 18 Juli 2007

Golkar Sebagai Partai Oposisi, Mungkinkah?


Oleh Eki Syachrudin

PERTENGAHAN 1997, saat Orde Baru dijepit aneka kekuatan reformasi, saat itu Golkar mampu bertahan berkat strategi "menyerang untuk bertahan". Beberapa pimpinan DPP Golkar seperti Fahmi Idris dan Marzuki Darusman mencanangkan Golkar sebagai partai oposisi, terhadap semua elemen yang menghujatnya. Pemikiran ini lalu menjadi sikap partai, dengan slogan "Golkar Baru".

Namun huruf "r" dari kata baru, diplesetkan penyebutannya sebagai "bau". Meski demikian, mereka tak peduli dan dengan nyaring tetap menyebut diri sebagai Golkar Baru. Dengan sepak terjang sebagai partai oposisi itulah Golkar mempunyai semangat tinggi, bagai "banteng-ketaton" menghadang segala serangan yang ditujukan kepadanya. Meski banyak kantor DPD tingkat I dan II yang hancur, namun jiwa mereka tidak kendur. Hasilnya menakjubkan. Pada pemilu DPR pertama Golkar sebagai runner-up dan pemilu berikut meraih kursi terbesar, mengalahkan perolehan PDI-P.

Kemudian muncul soal yang agak musykil, opsi pilihan duet MM (Mega-Muzadi) atau duet YJ (Yudhoyono-Jusuf). DPP memilih duet MM. Banyak yang terperangah, sebab hubungan PDI-P dan NU di satu pihak dengan Golkar di sisi lain boleh dikatakan kurang produktif sepanjang awal era reformasi. Fahmi dan kawan-kawan berpendapat, pilihan pada SBY-JK dianggap lebih cocok sebab sebagai mantan jalur A, SBY dan Jusuf -Kalla yang keluarga sendiri, platform Golkar tentu jauh lebih cocok, ketimbang dengan Mega-Muzadi. Tetapi DPP lebih berpikir dalam jargon real-politics sebab duet MM lebih mungkin keluar sebagai pemenang. Bagi DPP, buat apa berkoalisi dengan teman sendiri tetapi kalah. Fahmi cs, menganggap DPP lebih condong kepada kekuasaan ketimbang pada nilai.-nilai. Bagi Fahmi cs kalah bukan akhir dari perjuangan, sebab partai bisa memilih peran sebagai kekuatan oposisi, seandainya duet SBY-JK kalah.

Hasrat Fahmi Idris dan Marzuki yang menghendaki peran oposisi dalam kehidupan politik, tak kesampaian, sebab ternyata duet SBY-JK menang. Sebaliknya hasrat DPP untuk turut dalam kekuasaan juga tidak kesampaian, sebab duet MM kalah. Semuanya bagai "balik-bakul". Mungkinkah Akbar menjadi bagian kekuatan oposisi?

DENGAN relasi-relasi politik mutakhirnya, dibanding calon-calon ketua yang lain, Akbar merupakan orang yang paling siap melakukan oposisi. Sementara itu perpolitikan nasional kita memerlukan peran itu. Tetapi akan timbul pertanyaan, wajarkah Golkar beroposisi kepada pemerintahan yang Wapres dan beberapa Menterinya dari Golkar ? Ataukah Golkar lebih wajar menjadi bagian pemerintahan. Bagaimana peran oposisi yang amat diperlukan setiap sistem politik yang demokratis ?

Fungsi oposisi dalam perjalanan sejarah masih belum mapan. Pada era Demokrasi Liberal (1945-1957-an), oposisi dilakukan berlebihan. Sebaliknya pada era Demokrasi Terpimpin (1958-an-1966) dan Demokrasi Pancasila (1967- 1997an), oposisi dianggap sebagai barang haram, akibatnya pemikiran politik bangsa pada dua kurun waktu itu boleh dikata steril dan totalitarian. Ketika kebanyakan negara dunia ketiga masih mencari-cari bentuk demokrasi, di belahan bumi lain (Barat), oposisi merupakan suatu tradisi yang mapan dalam demokrasi mereka.

Di sana oposisi diperlukan agar partai yang berkuasa tidak tergelincir pada kesalahan berkelanjutan dan bila suatu pemerintahan tidak cakap, pada pemilu berikutnya mereka bisa diganti secara damai. Rakyat memerlukan proses oposisi yang direlay secara transparan dan luas oleh media massa, dengan demikian masyarakat bisa mendapat politik. Oleh pengetahuannya itu rakyat bisa menjatuhkan pilihan kepada partai yang dianggapnya lebih jujur dan lebih mampu.

Budaya perpolitikan berdasar semangat ke-oposisi-an ini tak berlaku di sebagian besar negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Di kedua kawasan ini pemerintahan dijalankan secara "gotong-royong" di bawah pimpinan seorang "bapak" bangsa. Harapannya negeri bisa stabil, menjadi adil, dan makmur. Ironisnya justru di negeri-negeri tanpa oposisi itu keadaanya kurang stabil, kurang adil dan secara umum tidak makmur. Sementara negeri-negeri Barat yang melakukan oposisi, keadaannya relatif lebih stabil, lebih adil, jauh lebih makmur.

Akankah Indonesia mulai melaksanakan kaidah politik beroposisi agar negeri bisa lebih stabil dan lebih makmur? Saya kira masyarakat politik (partai, pemerintah, legislatif, yudikatif, aparat keamanan, tentara, polisi, perguruan tinggipun), masih belum sreg tentang perlu tidaknya konsep oposisi. Mengapa? Jawabnya, mungkin, akibat buruknya citra istilah oposisi sepanjang Orde Lama dan Orde Baru yang hampir 40 tahun itu.

Padahal sebelum kemerdekaan, kata oposisi hampir merupakan konsekuensi perjuangan melawan penjajahan. Bentuk oposisi kaum kebangsaan (Soekarno-Hatta) diwujudkan melalui kosa kata "non-koperasi", sementara kaum santri (Kyai Wasid Cilegon dan Kyai Mustofa Garut) mewujudkannya dalam aneka bentuk yang disebut "jihad", sedangkan kaum komunis (Alimin-Dharsono) mewujudkannya dalam istilah "revolusi"(tahun 1927 di Menes dan Silungkang).

Saat itu oposisi dilihat dari kacamata kaidah berpikir dianggap benar bahkan keharusan jika dihubungkan dengan konsep Indonesia merdeka. Ketika Indonesia sudah merdeka, untuk apa ada oposisi? Namun data empirik mengatakan, negara-negara yang tidak memberlakukan chek and balances melalui fungsi-fungsi partai oposisi yang proporsionil, negeri-negeri itu (Afrika dan Timur Tengah), menjadi tidak stabil, tidak aman, tidak adil dan kemakmurannya tidak merata.

OLEH dunia pertama, setidaknya oleh Kanada, Indonesia dianggap sudah kompatibel dengan sistem demokrasi, meski mayoritas penduduknya beragama Islam (maksudnya berbeda dengan kebanyakan negeri muslim lain). Mana ada demokrasi (di Barat) tanpa ada partai oposisi? Apakah pemerintah kita tidak khawatir?

Saya kira tak perlu khawatir, apalagi takut, sebab bila ada partai yg melakukan oposisi kepada gebrakan antikorupsi yang dilancarkan pemerintahan SBY, mereka bisa dianggap sebagai pembela kaum koruptor, dan bila begitu pasti merugikan kedudukan mereka dalam pemilu mendatang. Tetapi jika mendukungnya, bukankah itu berarti akan memperkuat pemerintah di mata rakyat? Karena itu selama pemerintah benar, tak ada alasan untuk khawatir terhadap kaum oposisi. Bila Indonesia mampu melaksanakannya, posisi Indonesia dalam percaturan internasional akan lebih baik lagi.

Di Kanada oposisi bukan berarti gangguan kepada kursi kekuasaan, sebab setiap kuasa ada batas waktunya (empat tahun). Oposisi sebagai sikap politik dilakukan oleh partai yang kalah agar tidak ketinggalan dalam memberantas yang "mungkar" atau untuk menegakkan yang "makruf", sebagai jembatan untuk menang dalam pemilu berikut. Saya pikir beroposisi dalam pengertian menolak opsi yang salah dan mendukung konsep-konsep pemerintah bila benar, merupakan kebutuhan semua pihak.

Akankah Golkar menjadi bagian Pemerintahan SBY-JK yang sedang menghantam korupsi, atau menjadi oposisi konstruktif, di mana sesekali mengkritik pemerintah jika ada hal-hal yang keliru? Jawabannya terpulang pada pembahasan di Munas sekarang. Selamat bermunas.

Eki Syachrudin Mantan Dubes Kanada

Tidak ada komentar: