Rabu, 18 Juli 2007

Konglomerasi Politik

Oleh Sukardi Rinakit

AMIEN Rais benar. Majunya Jusuf Kalla ke bursa Calon Ketua Umum Partai Golkar, jika terpilih, akan menjadi lonceng kematian demokrasi. Hal itu terkait dengan terjadinya komplikasi karena menyatunya tiga sumber daya politik pada diri Jusuf Kalla, kekuasaan, bisnis, dan partai politik (Kompas, 16/12/2004).

Secara lateral, majunya Jusuf Kalla merefleksikan logika pengusaha yang selalu ingin menguasai sektor industri dari hulu sampai hilir. Dalam ranah politik, fenomena demikian, sebut saja sebagai konglomerasi politik. Partai besar dikuasai, parlemen dijadikan tukang stempel, kebijakan pemerintah dikontrol, dan suksesi kepemimpinan nasional digenggam erat selama mungkin. Masyarakat Indonesia harus waspada karena ada peringatan Lord Acton yang tetap relevan: Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.

Argumen itu bukan dimaksudkan untuk mendelegitimasi Jusuf Kalla. Kritik harus tetap diberikan kepada siapa pun yang sedang berlaga memperebutkan atau mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan napas demokrasi. Alasan Jusuf Kalla maju, karena diminta DPD-DPD, tidak bisa diterima begitu saja. Setiap dukungan tidak harus disetujui apalagi jika hal itu bertentangan dengan salah satu nilai demokrasi, yaitu pembagian kerja.

Posisi sebagai wakil presiden sudah cukup sibuk dan menuntut tanggung jawab moral besar. Apalagi jika diingat, pasangan presiden-wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat. Mengapa masih mengejar posisi ketua umum partai? Mengapa tidak mengejar penyebab seorang ibu yang terpaksa bunuh diri karena frustrasi tidak bisa membawa anaknya ke dokter? Mengapa tidak mengejar pelaku pembunuhan Munir? Padahal dua kasus itu adalah cermin bening dari masih dalamnya lorong kemiskinan dan luasnya ketidakadilan di republik ini.

JIKA saya seorang jenderal atau pengusaha, umur setengah abad lebih, anak- anak sudah mandiri dan kini saya menjadi presiden atau wakil presiden, maka tidak ada yang saya takuti kecuali rakyat dan Tuhan. Kalaupun saya akhirnya "di-Munirkan" (dibunuh) oleh kelompok tertentu karena memperjuangkan demokrasi, kesejahteraan, dan hak rakyat, sebagai seorang pemimpin, setidaknya saya meninggalkan catatan yang bisa menjadi pelajaran bagi anak bangsa di masa depan.

Dengan demikian, terasa aneh jika perburuan posisi ketua partai politik, seperti kasus Jusuf Kalla, masih menjadi prioritas. Hal itu tentu memicu perdebatan di seputar alasan Jusuf Kalla untuk tetap maju di Munas Partai Golkar.

Alasan pertama berkait upaya memperlemah kekuatan oposisi. Rencana pemerintah menaikkan harga BBM dan aneka kebijakan yang kurang populer lain mulai tahun depan, diperkirakan akan ditentang Koalisi Kebangsaan. Dalam konteks ini, pamor Koalisi Kebangsaan akan naik. Sebaliknya, kewibawaan pemerintah bisa merosot. Ada kesan, pemerintah mengalami ketakutan berlebihan sehingga untuk mengurangi degradasi citra dan kewibawaan pemerintah di mata rakyat, Partai Golkar harus direbut. Dengan demikian, Koalisi Kebangsaan akan pecah, tinggal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang akan menggempur pemerintah.

Alasan kedua berkait target politik Jusuf Kalla untuk menjadi kandidat presiden 2009. Jika menjadi Ketua Umum Partai Golkar, hampir otomatis akan dicalonkan sebagai kandidat presiden pada Pemilu 2009, maka posisi ketua umum menjadi strategis diperebutkan. Terlebih karena Golkar adalah partai terbesar.

Alasan terakhir adalah persoalan peningkatan posisi tawar Jusuf Kalla terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan menguasai Golkar, posisi tawar Jusuf Kalla akan kuat. Bahkan tidak tertutup kemungkinan dia akan menjalankan peran sebagai kepala pemerintahan, sementara Susilo Bambang Yudhoyono menjadi kepala negara. Dengan istilah lain, roda pemerintahan dan pengambilan keputusan ada dalam rentang kendali Jusuf Kalla.

Tetapi laiknya praktik konglomerasi, ketidakefisienan menjadi masalah utama. Karena itu jika Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Umum Golkar, fenomena konglomerasi politik pasti akan membunuh proses check and balance antara parlemen dan pemerintah. Mayoritas suara parlemen akan menjadi suara pemerintah, monolit, dan akhirnya dilipat memasuki alam otoriterianisme. Pendeknya, lampu demokrasi akan meredup dan kita kembali ke alam politik Orde Baru. Bagi Jusuf Kalla mungkin bakal berlaku pepatah Jawa: Menang ora kondang, yen kalah ngisin-ngisini, ’Menang tidak jadi terkenal, kalau kalah memalukan!’

NAMUN, politik sering tidak berjalan linear. Bisa jadi karena Jusuf Kalla maju menjadi kandidat, konfigurasi politik tiba-tiba berubah. Seorang demokrat seperti Marwah Daud, tidak tertutup kemungkinan akan mengambil sikap netral. Dia risih melihat seorang wakil presiden yang masih mengejar posisi ketua umum partai politik. Dengan netralitas demikian, terbuka peluang bagi kubu Akbar Tandjung untuk mendekati pendukung Marwah. Padahal sosok seperti Marwah sebenarnya patut ditengok untuk memimpin Golkar agar partai itu mempunyai napas baru.

Sama dengan kubu Marwah, sayap Wiranto juga mulai ragu dengan fenomena konglomerasi politik Jusuf Kalla. Jika Wiranto akhirnya mendukung Akbar Tandjung, misalnya, tidak tertutup kemungkinan Akbar akan menang dalam pertempuran melawan Jusuf Kalla. Dukungan DPD II yang masih banyak dipimpin eks TNI merupakan peluang bagi Akbar. Selain itu, memberikan hak pada DPD II untuk ikut memilih juga merupakan kampanye tersendiri bagi kubu Akbar. Tidak tertutup kemungkinan Akbar justru bisa menarik keuntungan dari situasi ini karena sebagian DPD II akhirnya menjadi simpati kepadanya.

Kemungkinan lain dari pergerakan politik yang tidak linear adalah sikap politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Jika Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Umum Golkar, misalnya, tidak tertutup kemungkinan PKS dan PAN akan mundur dari arena Koalisi Kerakyatan dan mengibarkan bendera oposisi. Fenomena konglomerasi politik tentu tidak akan mengenakkan mereka karena bertentangan dengan napas demokrasi. Jika hal itu terjadi, konfigurasi politik yang berlaku kini akan berubah dengan PKS, PAN, PDI-P, dan PKB menjadi spoiler (oposan) terhadap hegemon (pemerintah). Sebaliknya, Partai Demokrat dan Golkar akan menjadi supporter dari kekuasaan. Tetapi memprediksi politik Indonesia memang tidak mudah. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Sukardi Rinakit Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate

Tidak ada komentar: